Tujuan
![]() |
http://www.klcbs..net |
J
|
ika kita ikuti standar pemerintah
tentang berapa lama minimal harus belajar di sekolah maka tentu selama 9 tahun
kita harus menghabiskan waktu hanya untuk belajar, dan sebagian juga banyak
yang menghabiskan waktu di sekolah hingga 12, 16 tahun, dan bahkan ada yang
lebih lama dari itu. Tujuannya untuk apa? Untuk bekerja! Semakin tinggi
pendidikan yang ditempuh diharapkan akan semakin prestisius pekerjaan yang di dapatkan. Untuk apa bekerja? Untuk
cari makan.
“Hidup untuk makan” itulah
filosofi yang ditentang oleh Socrates. Filosofi tersebut telah mempengaruhi
sebagian besar manusia. Sehingga dalam perjalan waktu– mulai dari pagi dan
bahkan ada sampai pagi lagi, manusia mutlak hanya menghabiskannya untuk mencari
makan termasuk juga untuk memuaskan nafsu sexual raga, dan ketika lelah “tidur”.
Setelah Adam dan Hawa dilempar
dari surga, habil dibunuh oleh qabil, daratan ditenggelamkan oleh banjir masa
Nabi Nuh, negeri dibalikkan di masa Nabi Luth, Fir’aun di tenggelamkan di
sungai Nil, dan diantara Bani Israel mereka di hukum Nabi Musa saling membunuh.
Entah berapa negeri yang dihancurkan dan tinggal kenangan? dan entah berapa
manusia yang nyawanya telah melayang? Sesederhana dan serendah itukah tujuan
hidup “hidup untuk makan” ?
Bagaimana mungkin semua kejadian
dalam sejarah itu bisa terjadi bila hidup hanya untuk tujuan seperti itu? Tentu
Adam dan hawa tidak pantas dilemparkan, negeri-negeri tidak pantas dihancurkan,
dan manusia-manusia tidak pantas jiwanya melayang–sebab mereka mendapatkan
hukuman itu karena aktifitas makan dan memenuhi keinganan nafsu mendapatkan
kenikmatan ragawi. Jika kita “hidup untuk makan” tidakkah kita sedang merebut
kabut kesesatan – mengikuti jejak-jejak kota dan manusia yang kini tinggal nama
setelah hancur dan mati?
Hidup bukanlah untuk makan, sebab
binatang di hutan pun juga makan. Apakah kita sama dengan binatang? Dalam soal
makan harus diakui manusia memang sama dengan binatang, tidak seperti
malaikat–untuk bertahan hidup manusia juga memerlukan nutrisi dan itu hanya
didapatkan dengan mengkonsumsi makanan. Tapi berbeda dengan hewan yang hidup dengan
naluri, sementara manusia hidup dengan akal untuk berpikir. Mengingat manusia
di satu sisi sama dengan hewan dan di sisi lain berbeda dengan hewan–tidak
salah kemudian bila Aristoteles mengatakan “Manusia adalah hewan yang berpikir”. Pikiranlah yang membuat
hewan berpikir itu di sebut sebagai manusia. Pendek kata pikiranlah yang
membuat sesuatu yang rendah itu kemudian menjadi tinggi.
Adanya perbedaan antara hewan dan
manusia tentu harusnya dua makhluk tersebut memiliki tujuan yang berbeda pula. Bagi
hewan nafsu untuk mendapatkan kenikmatan ragawi seperti makan dan sex adalah aktivitas yang paling
membahagiakan–mengingat kesempurnaan mereka terletak pada fisik. Sementara
manusia meski juga memiliki fisik, dan nafsu untuk makan dan sex adalah kenikmatan fisik, tapi
kesempurnaan manusia terletak pada akalnya, dan akal itu melampaui fisik dan nafsu.
Dengan akalnya manusia bisa mengikuti dorongan nafsu dan juga bisa menentangnya–
seperti misalnya kita lihat pada aktivitas berpuasa. Karena kesempurnaan
manusia terletak pada akalnya maka bisa dikatakan tujuan atau kebahagian
tertinggi manusia terletak pada aktivitas berpikir. 1Bagi manusia,
kebahagiaan ialah memandang kebenaran (theoria; “contemplation”).
Berpikir dan memandang kebenaran
adalah kebahagian hakiki manusia, apakah itu berarti menggugurkan tujuan dan kesenangan
lainnya? Kesempurnaan manusia memang terletak pada akalnya, tapi ia tak bisa
menyangsikan bahwa ia juga memiliki keinginan untuk memenuhi kenikmatan raga. Raga
menginginkan nutrisi untuk bertumbuh dan aktivitas sexual baik untuk kesenangan
diri maupun untuk memiliki keturunan, karena itulah selain tergerak untuk
memandang kebenarang, manusia juga tergerak untuk mendapatkan kenikmatan raga.
Adanya dorongan akal untuk
memandang kebenaran dan dorongan nafsu
untuk mendapatkan kenikmatan raga, tentu dalam perjalanan dua dorongan itu tidak
akan selalu seiring sejalan dalam bergerak, melainkan juga terjadi berbagai pertentangan.
Dorongan nafsu untuk mendapatkan kenikmatan raga tidak akan peduli tentang tata
cara dan dampak yang akan diterima, nafsu hanya peduli tentang bagaimana
kenikmatan itu bisa didapatkan. Sementara bagi akal, jika hanya sekedar untuk
mendapatkan kenikmatan raga itu sama saja dengan binatang, dan binatang tidak
peduli darimana, dengan cara apa mendapatkan makanan dan apa dampaknya. Begitu
juga binatang tidak peduli dengan pasangan mana, berapa, dengan cara apa, dan
berbagai pertanyaan lainnya. Meski manusia dikatakan sebagai hewan juga tapi ia
memiliki pikiran, dan pikiran mendorong manusia ke arah kebenaran. Akal tidak
melarang manusia untuk mendapatkan kenikmatan raga, tapi kenikmatan itu
haruslah dinikmati dengan aktivitas yang baik, pendek kata “sesuai etika”.
Etika dijalankan agar aktivitas yang dilakukan bisa dipertanggung jawabkan dan
berdampak positif, artinya jika itu dilakukan tidak akan berdampak buruk pada
diri sendiri ataupun orang lain.
Dengan sedikit uraian tersebut
tidak mengherankan bila Socrates sampai berkata “makan untuk hidup, bukan hidup
untuk makan”. Di dalam pernyataan tersebut, “makan” hanyalah prasyarat untuk
hidup, dan hidup tentu saja bukan hanya sekedar hidup, ia memiliki tujuan yang
lain dan pasti lebih mulia daripada makan dan sekedar hidup. Di dalam salah
satu karyanya “Falsafah Hidup”, Buya Hamka berkata:
“2Hidup sembarang
hidup, babi di hutan hidup juga, tetapi dari harta orang; anjing di kampung
hidup juga, tetapi dari lebih-lebih tulang belulang; kucing di rumah hidup juga,
tetapi hidupmakan sisa. Hidup insan lain letaknya. Lezat akal sempurna basa,
mulia hati lautan paham, penuh melaut kira-kira”.
Semenjak ilmu pengetahuan dipisahkan
dengan filsafat (moral/kebijaksanaan), ketika itulah kita kembali kepada tujuan
yang ditentang oleh Socrates, praktis irama hidup kita kembali monoton sekedar
“untuk makan”, sekedar mendapatkan kenikmatan ragawi. Lihatlah, Bumi kita kini
telah diperkosa sedemikian parah–di eksploitasi tanpa batas, tanpa memikirkan
dampak yang akan terjadi kemudian. Untuk apa? Untuk makan!
Di zaman yang katanya modern ini,
faktanya Kita belajar puluhan tahun ternyata hanyalah untuk bisa menggemukan
badan dan belajar untuk saling memperkosa. Pertanyaannya adalah layakah
filosofi “hidup untuk makan” itu terus di dukung dan dikembangkan? Tidakkah
layak bagi kita mulai sekarang memilih untuk bersimpang jalan dan menjadikan
makan hanya sekedar prasyarat untuk bisa menjalankan aktifitas spesifik manusia
yaitu berpikir – memandang dan mengarahkan diri pada kebenaran? Jikapun ingin
mendapatkan kenikmatan ragawi, tidakkah selayaknya menggunakan etika dan
memandang pada dampak yang ditimbulkannya.
Hari-hari dimana seakan kebenaran
bagi zaman dan manusia modern telah mendapatkan landasan yang kokoh, agaknya
kita perlu kembali untuk selalu curiga pada apapun yang dihasilkannya–
jangan-jangan modernitas justru sedang membimbing kita pada kehancuran?
Daftar Pustaka
Bagus tulisannya gan
BalasHapus