Berbicara

greenrevolutia.blogspot..com





Diam itu di anggap sebagai kepatuhan dan kepatuhan di anggap sebagai kebenaran. Semenjak bicara khususnya bertanya dipertentangan dengan kepatuhan sejak itulah ia menjadi aktivitas yang terlarang. Karena terlarang sehingga sesiapa saja yang melakukannya akan diganjar dengan hukuman. 

Pernah berbicara khususnya bertanya membuat umat Persia, Romawi, dan islam menikmati ketinggian peradaban. Ilmu, praktek, dan kekuasaan berkembang pesat tanpa ada yang menghambat, dan bersatu padu membuat peradaban tersebut menjadi peradaban yang mencengangkan di masing-masing masa berdirinya. Tapi kemudian ketika ilmu, praktek, dan kekuasaan dipertentangkan, ketika itulah berbicara dan bertanya kemudian sering menjadi aktivitas yang terlarang, yang bila dilanggar kekuasaan akan mengganjarnya dengan penjara. Pernah juga karena berbicara membuat banyak manusia kehilangan nyawa. Konsekuensinya adalah peradaban yang telah dibangun begitu megah akhirnya runtuh. Runtuh karena perpecahan dari dalam sehingga waktu habis hanya untuk bertengkar berebut kekuasaan dan di waktu yang sama mendapat serangan dari luar. Sehingga peradaban itu bergulir jatuh ke tangan yang lain.

Itulah yang terjadi, keruntuhan timbul ketika berbicara dipertentangkan dengan kepatuhan dan kepatuhan dianggap sama dengan kebenaran. Kekuasaan cendrung koruptif dan disalahgunakan karena itulah seringkali untuk melanggengkan kekuasaan, sehingga dibuatlah aturan-aturan yang seakan-akan hanya kekuasaanlah yang boleh bicara ataupun yang boleh bertanya, dan rakyat sipil hanya dianggap seperti mesin – perintah dan laksanakan tanpa boleh bertanya. Para penguasa agaknya membayangkan manusia persis seperti mesin otomatis, ketika dipencet ia langsung paham, dan tanpa bisa menolak langsung mengerjakannya. Tak terbayang oleh mereka manusia bukanlah mesin, dan karenanya ketika perintah di sampaikan yang timbul justru perlawanan. 

Kehadiran manusia yang dari suatu proses create ex nihillo – ada dari ketiadaan dan tiba-tiba ada di dunia, membuat manusia merasa asing, sehingga tidak heran kemudian manusia dihantui berbagai pertanyaan abadi. Mithalnya seperti pertanyaan yang ada dalam karangan Imam Al Ghazali “Kimia Kebahagian” pada bab pengetahuan tentang diri: 

Siapakah saya, dan dari mana saya datang? Kemana saya pergi, apa tujuan saya datang lalu tinggal sejenak di sini, serta di manakah kebahagiaan saya dan kesedihan saya yang sebenarnya berada?”

Mengapa pertanyaan tersebut menjadi abadi? Sebab pertanyaan tersebutlah yang akan menentukan apa yang harus dan akan dilakukan manusia di dunia ini. Tanpa menjawab pertanyaan tersebut dan tanpa jawaban yang tepat dan pasti – manusia akan terus terombang-ambing, dan jalannya seperti orang mabuk – bergerak ke kiri dan ke kanan tanpa tujuan yang pasti, jalannya tidak menentu. Mendengar seluruh pertanyaan tersebut bisa kita simpulkan bahwa bertanya itu adalah fitrah bagi manusia, dan oleh sebab itu tidak salah kemudian bila kita katakan “Manusia di hukum untuk bertanya!”.

Jika penguasa dengan alasan kepatuhan menghukum manusia untuk diam sementara manusia di hukum sang pencipta untuk berbicara khususnya bertanya tentang kejadian dan maksud kejadian dirinya dimana pertanyaan tersebut adalah muara dari segala pertanyaan, lalu hukum mana yang harus di ikuti? Jika penguasa mengancam manusia dengan penjara (pengasingan) dan kematian, sementara sang pencipta juga menjanjikan hukuman yang sama, hukuman mana yang bersifat pasti dan tidak pasti? Sejarah telah menunjukan ada sikap yang terbelah. Sebagian lebih takut di hukum manusia dan sebagian lagi lebih takut di hukum sang pencipta. Tentu saja hukuman sang pencipta bersifat pasti dan tak bisa dilawan, sementara hukuman manusia bersifat tidak pasti artinya masih mungkin untuk dielakkan dan bahkan untuk dilawan.

Dengan menggunakan menggunakan metode psikoanalisis, Slavoj Zizek melihat: ketika hukum digariskan dan larangan ditentukan, subyek terpecah. Di satu pihak timbul kepatuhan (yang sadar). Di lain pihak, bangkit hasrat (yang tak sadar) untuk menabrak aturan itu. Sehingga bila berbicara khususnya bertanya dilarang oleh penguasa, maka itu berarti ia menjadi menarik dan menantang untuk dilakukan. Apalagi ketika dibenturkan antara kehendak penguasa dari manusia yang melarang dan perintah sang pencipta untuk melaksanakan– tentu saja hasrat tersebut menjadi tak tertahan. 

Karena di desak dan tidak tahan oleh pertanyaan abadi sehingga manusia lebih memilih melanggar perintah penguasa di bumi dan menjadi martir daripada melawan diri sendiri dan desakkan sang pencipta lewat nurani. Benar penguasa di bumi memang mampu untuk membungkam mulut manusia, tapi sampai kapan? Adakah bungkaman itu bersifat abadi atau sesuatu yang mudah retak, pecak dan berkeping?

Di dunia ini ada “ kepentingan individu” dan ada “kepentingan kelompok. Bukan individu diciptakan untuk kelompok melainkan sebaliknya kelompok di ciptakan untuk individu. Hal ini sama seperti terciptanya hawa dan mahligai pernikahan, bukan Adam diciptakan untuk kedua hal tersebut tapi kedua hal tersebut diciptakan untuk Adam. Bukankah ketika di akhirat manusia di tanya dan diganjar  diri perdiri bukan perkelompok? Jadi kelompok di bentuk adalah dalam rangka untuk membantu kepentingan individu, bukanlah sebaliknya yaitu untuk mempersulit mereka dalam merealisasikan tujuan kehidupannya di dunia ini. Sehingga ketika kelompok justru membuat manusia menjauh dan tersesat dari mencapai tujuan sesungguhnya hidup di dunia, lalu sikap seperti apa yang layak di ambil? 

ketika selesai membangun bendungan Maghrib, kaum saba’ percaya bahwa bendungan itu akan terlalu kokoh untuk diruntuhkan, tapi air yang tabiatnya mengalir berkata lain – ketika ia di bendung dan tidak mendapatkan celah, maka ia merusak dari dalam dan akhirnya runtuh dan membanjiri negri Saba’.

Seluruh peradaban telah mencoba dan peradaban itupun melihat: Manusia adalah sesuatu yang tidak bisa begitu saja dibatukan dengan kepatuhan ataupun dengan hukuman, seperti air ia juga mengalir. Manusia tidak pernah mati sebelum mati, gerak adalah tanda kehidupan dan berbicara adalah salah satu gerak manusia. Sehingga bila di luar dirinya ada yang membatu, maka ia akan bergerak dari dalam, dan dari dalam itu pulalah ia perlahan mengkorosi dan meluluhlantakkan apapun yang hendak membatu dan apapun yang memimpikan abadi – termasuk bagi tirani berbaju demokrasi.

Pekanbaru, 25 Desember 2016

Komentar

  1. Sungguh tulisan yang sangat bagus, apik, mudah dipahami dan mendalam serta sampai ke tujuan yang ingin disampaikan...
    It's good, i like it..
    boleh saya belajar..???

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih atas pujiannya- semua keindahan itu bersumber dari Allah. Tentu saja boleh firda! kita bisa sharing pengalaman dan pengetahuan. Kita bisa saling mengambil hikmah dari pengalaman dan pengetahuan diantara kita. Bila perlu Firda bisa kontak saya di hp 085375910079 atau di FB saya: robbi sunarto..

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tujuan

Kenangan Januari

Ia Masih di Sana