Mempercayai Harapan
![]() |
Piqurs.blogspot.com |
Runtuh dan bangunnya sebuah peradaban tergantung dirimu, wahai pemuda. Di saat orang yang ingin meruntuhkan sebuah peradaban menemui jalan buntu untuk mencabut pondasi rumah peradaban, mereka putus asa hingga akhirnya merekapun menemukan jalan lain untuk mewujudkan apa yang mereka cita-citakan itu. Mereka mulai sadar, demi mencapai tujuan itu tidak perlu langsung mencabut akarnya, karena tindakkan seperti itu terlalu kentara sehingga mudah mendapatkan badai perlawanan yang sulit untuk dikalahkan. Oleh karena itu ada satu jalan yang tidak kelihatan seperti tangan yang tak tampak, dengan tangan itu merekapun bisa mencapai tujuan tanpa hambatan, tanpa perlawanan yang berarti.
Jalan itu adalah dirimu, wahai pemuda. Hanya melaluimu sebuah rumah peradaban dapat dihancurkan. Mereka tahu, kalian adalah pilar peradaban, panjang-pendek sebuah perada-ban tergantung kalian. Dengan merusak, menghancurkan kalian maka sebuah bangunan akan runtuh, yang tertinggal hanyalah pondasi yang tidak bermakna apa-apa tanpa pilar, atap dan bagian lain dari sebuah bangunan peradaban. Pondasi yang tertinggal sendiri itu sama seperti seorang raja yang sedang duduk tersedu menangis di atas puing-puing istananya.
Mereka tahu betul, wahai pemuda, ada dua sisi dari diri kalian yang berkontradiksi dalam hati. Di satu sisi kalian mengkehendaki sebuah idealitas, kemurnian, kesucian, keadilan dan kebenaran, tapi di sisi lain sebagai orang muda kalian juga sangat berhasrat untuk merasakan semua nikmat di dunia, nikmat yang belum kalian rasakan sebagai pendatang baru di dunia ini; kalian juga menghasratkan nikmatnya menjadi penguasa, memiliki harta, istri, anak-anak dan kenikmatan lain yang ada di dunia ini, yang menurut kalian dapat mencegah penderitaan membelenggu kehidupan yang kalian cemaskan. Seringkali hasrat ini mampu menggoda, me-ngalahkan hasrat kalian pada kebenaran. Akhirnya runtuhlah sebuah rumah peradaban.
Gelora pada dunia yang tidak kalah besar dibandingkan gelora pada kebenaran, celah inil-ah yang digunakan oleh orang-orang yang ingin meruntuhkan sebuah peradaban. Merekapun membuat ayunan yang dapat membuat para pemuda terbuai, larut, hanyut, di dalam ilusi yang membuat mata pemuda buta, telinga pemuda tuli, lidah pemuda terkunci; membuat hati yang awalnya hidup menjadi mati, dan pikiran yang tadinya lurus menjadi bengkok, dikendalikan nafsu pada duniawi yang dikipas-kipasi oleh para pembenci, yang ingin sebuah peradaban mulia, suci, akhirnya runtuh menjadi puing-puing masa lalu, dan hanya bisa dikenang.
Ayunan itu pada dasarnya adalah sesuatu yang dapat menghalangi, mengalihkan mata dari melihat kebenaran, dari mendengar panggilan kebenaran, dari membicarakan tentang kebena-ran; menghalangi, mengalihkan hati dari meraskan kebenaran dan memikirkan kebenaran. Ini tidak dapat diwujudkan kecuali menyuguhkan kenikmatan kepada kalian, wahai pemuda. Jika kalian ingin tahu apa bentuk ayunan yang membuai itu, mudah saja, pikirkanlah dan cari tahu apa yang saat ini menyita mata kali, apa yang menyita pendengaran kalian, apa yang menyita percakapan kalian; mudah saja, pikirkanlah dan cari tahu apa yang menyita hati dan pikiran kalian. Ini tidak saya katakan secara terus terang, karena kalian lebih tahu daripada saya, apa yang menyita waktu dari hidup yang sedang kalian jalani, saat ini.
Terus terang, saya juga hampir tidak percaya lagi pada harapan, apalagi saat melihat kalian bersedia menelan mentah-mentah warisan dari kaum tua yang tengah memimpin kini. Sebuah warisan yang diterima tanpa memilah dan memilih, mengekor buta pada kaum tua yang kini memimpin dan menghadiahkan rakyat dengan segala kerusakan yang mereka ciptakan karena menghambakan diri pada nafsu yang hanya memikirkan kepentingan, kenikmatan, dan kejay-aan sendiri atau kelompok sendiri, melupakan, hanya menjadikan rakyat sebagai tunggangan untuk mencapai tujuan, setelah tercapai, lalu tunggangan, rakyat itupun dicampakkan. Hari-hari merekapun dihabiskan untuk memikirkan bagaimana kendi-kendi mereka melimpah dan semuanya halal di hadapan nafsu yang tak lagi memiliki hati.
Tapi segala harapan yang hampir tidak dipercayai lagi itu, akhirnya kembali sirna setelah mendengar ada sekelompok pemuda yang ingin berkumpul untuk memikirkan tanah air ini, memikirkan kita semua, khususnya orang-orang di akar rumput, kalangan yang paling banyak di negeri ini, yang paling menderita, maka spontan saja harapan yang redup itu kembali menyala, berkobar di dalam hati.
Para pemuda tampaknya makin sadar akan peran mereka; tidak hanya menjadi pewaris yang menelan mentah-mentah warisan dari kaum tua; mereka mulai berani untuk berpikir sendiri memilah dan memilih mana warisan yang layak untuk diteruskan, didukung, dan warisan mana yang layak untuk dihentikan, dilawan. Ukurannya jelas, yang berbanding lurus dengan agama, nilai dan norma-norma sosial adalah warisan yang harus diteruskan, sebab ujung dari jalan lurus itu pasti kebahagiaan. Sebaliknya, yang jalannya berlawanan dengan agama, nilai dan norma-norma sosial harus dihentikan, harus dilawan, sebab ujung dari jalan ini pasti penderitaan, tujuannya pasti hanya untuk memuaskan nafsunya sendiri, dan kelompoknya.
Berdirilah kembali wahai hati hati, yang tersungkur; wahai orang-orang di kalangan akar rumput. Dibohongi, dikecewakan, dikhianati, dan disakiti, memang membuat kita seringkali jera pada harapan; membuat kita tidak berani lagi memberikan kesempatan, tidak mau lagi membiarkan ada sedikitpun celah di hati menjadi jalan – angin harapan disusupkan ke dalam. Tapi apakah tindakkan itu membuat keadaan kita jadi lebih baik? Tidak, tidak ada yang berubah! Lihatlah, wahai kaum senasib-sepenanggungan, justru mereka makin merajalela, mereka membutuhkan kita sebagai tunggangan ternyata bukan untuk memikirkan dan mensejahterakan kita, tapi untuk memikirkan, mensejahterakan kepentingan diri dan kelom-pok mereka sendiri.
Saya sadar bahwa kita tidak bisa merubah keadaan dengan perasaan jera pada harapan; tidak boleh putus asa memberikan kesempatan. Dalam keadaan seperti saat ini, memiliki harapan itu jauh lebih baik daripada tanpa harapan. Seperti mata dadu yang bila dikocok, pas-ti pada salah satu kocokkan, cepat atau lambat, dadu yang keluar pasti akan sesuai dengan harapan. Ini hanya persoalan waktu serta tidak jera bersabar –mencoba dan menunggu. Meskipun begitu, salah satu kunci untuk segera mendapatkan kenyataan sesuai harapan, kita sebagai rakyat di akar rumput harus teliti dalam memilah dan memilih kepada siapa harapan itu layak kita titipkan; tidak lagi memilih karena uang, intimidasi, dan faktor-faktor lain yang bertentangan dengan hati nurani.
Marilah kita mempercayai harapan dan mengucapkan selamat datang kembali, kepada para pemuda yang hendak memikirkan nasib tanah air, dan rakyat Indonesia ini. Wahai para pemuda, selamat datang di rumah ini, di rumahmu yang sejati. Setelah sekian lama kalian berjalan, terlunta-lunta, tanpa arah, tanpa gairah, kini kalian telah menemukan kembali arah dan gairah yang hilang itu. Kalian tidak akan pernah menemukan arah dan gairah sejati itu selain menyadari bahwa arah dan gairah kalian hanya ada pada perjuangan demi tegaknya kebenaran, keadilan, kemurnian, kesucian, mensejahterakan tanah air dan seluruh rakyat Indonesia, bahkan dunia seutuhnya. Pikirkan, perjuangkanlah tanah dan rakyat semuanya, maka kalianpun akan merasa berarti, dan abadi dalam hati-hati mereka, dikenal dibumi, dikenal di langit, surga yang tenang sedang menghias diri bersiap menunggu para pemuda yang hatinya sangat terpaut pada kemurnian hati.
Pekanbaru, 12 November 2017
--Robbi Sunarto
Tulisan ini saya tulis dalam rangka menyambut para pemuda Islam yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) daerah Pekanbaru, yang hendak melaksanakan pertemuan, diskusi, orasi, yang barangkali juga akan dikonkritkan dalam bentuk-bentuk tulisan, pamflet, booklet, serta harapan kita semua juga dikonkritkan dalam seragkaian tindakkan. Kita ingin kembali melihat kerasnya pemuda seperti batu karang dalam memperjuangkan tanah dan rakyat Indonesia; tidak gentar pada segala ancaman yang hendak meruntuhkan niat-niat mulia yang berdetak dalam jantung, hati mereka.
Komentar
Posting Komentar