Masyarakat Barat Bukan Bangsa Barbar, Benarkah?




Siapa bangsa yang berani mengaku beradab dibanding bangsa-bangsa lainnya? Barat! Bangsa baratlah yang mengaku dirinya sebagai bangsa beradab. Sebaliknya, bangsa-bangsa di luar barat mereka menyebutnya sebagai bangsa barbar, pendeknya, bangsa yang tidak beradab. Kesimpulan ini berurat berakar pada peradaban Yunani kuno. Masyarakat Yunani, ketika mempertentangkan dirinya dengan bangsa asing dengan sebutan bangsa beradab dan bangsa barbar tentu bukan tanpa alasan, alasan yang membuat mereka menganggap bahwa apa yang mereka katakan tentang bangsanya yang beradab atau tentang bangsa di luarnya barbar ialah perkataan yang benar karena memiliki dasar untuk pembenaran tersebut. 

Ada dua alasan kenapa bangsa Yunani Kuno mempertentangkan dirinya dengan bangsa lain dalam sebutan beradab dan barbar (barbaros), dua alasan tersebut saling terkait satu sama lain dan bersumber dari satu hal yaitu politik atau sistem pemerintahan. Pertama, dalam rumusan negatif, bangsa Yunani tidaklah dipimpin oleh seorang raja seperti halnya pada masyarakat timur, dimana despotisme menandai kerajaan-kerajaan di timur kuno, raja dapat memerintah sekendak hatinya dan hukumnya bersifat mutlak, tidak ada kekuasaan lain yang membuat raja harus mempertanggung jawabkan setiap keputusannya, pendek kata, rakyat pada kerajaan timur tidak lain hanyalah seorang budak saja. Kedua, Bila dirumuskan secara positif letak perbedaan masyarakat Yunani dengan bangsa lain yang mereka sebut barbar adalah bangsa Yunani hidup di dalam polis atau suatu negara kota (kecil), dimana sistem ini berkembang antara abad ke-8 dan ke-7 Sm,. dan terus berkembang hingga jumlahnya mencapai ratusan. Jumlah warga di dalam setiap polis polis tersebut tidaklah besar antara 5000 warga hingga beberapa polis mencapai angka 20.000 warga negara. Keunggulan negara kota ini adalah terletak pada tiga hal yaitu: otonomi, swasembaa, dan kemerdekaan politik, tidak hanya untuk hubungan polis dengan polis lainnya melainkan juga untuk hubungan antara individu dengan individu lainnya. Tidak ada kekuasaan mutlak seperti raja di timur di tanah Yunani, dalam polis Yunani seluruh warga terlibat aktif, sekalipun ada yang hendak menjadi tyrannos (tiran) selalu ada hukum yang membatasinya demi keterbukaan dalam bidang pemerintahan.  

Oleh karena itu bila kita berbicara peradaban Yunani kuno memang harus diakui, kita menemukan keunggulan-keunggulan peradaban yang tidak dapat ditemukan pada peradaban lain, atau jikapun ditemukan, keunggulan tersebut pada peradaban lain, tapi bukan dimiliki oleh seluruh rakyat di dalam bangsanya, hanya sebagian kecil, yaitu dapat disebut dengan istilah dalam Hinduisme, kasta brahmana dan kasta ksatria. Inilah perbedaannya, dalam peradaban Yunani, seluruh keunggulan tersebut dapat diakses oleh siapa saja, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, tidak ada pembatasan yang membuat satu orang diistimewakan dari orang lainnya seperti yang terjadi pada peradaban lainnya. Semua orang bebas untuk tumbuh dan berkembang sesuai bakat-bakat yang mereka miliki. Hal ini dapat kita lihat, misalnya dalam perkembangan sastra dan ilmu pengetahuan. 

Sebelum Yunani terkenal dengan pemikiran filsafatnya, masyarakat Yunani terlebih dahulu dikenal dengan sastranya. Bila kita berbicara sastra Yunani maka ada satu nama yang tak mungkin lupa disebutkan, bukan semata karena keunggulan karyanya melainkan satu nama ini adalah sastrawan yang dianggap sebagai peletak kebudayaan Yunani itu sendiri sehingga antara nama sang sastrawan dan kebudayaan Yunani hubungannya bersifat saling terkait. ketika kita berbicara sastra Yunani maka sang sastrawan akan disebut, ketika kita menyebut sang sastrawan maka kebudayaan Yunani akan disebut. Satu nama itu adalah Homer (Homerus) dialah yang menulis karya sastra tertua di Yunani sekaligus tertua dalam sejarah literatur Eropa. Dua karyanya yang berjudul Illiad & Oddyssea (850 s.M) adalah karya tertua itu, dua karya yang ditulis dalam bentuk puisi epic yang berkisah tentang pertempuran Troy. Dua karya ini kedudukannya sama seperti kedudukan karya sastra Ramayana ataupun Mahabarata di India. Selain itu, arti penting Homerus ataupun sastra tidak saja pada Homer atau sastra itu sendiri, tapi melingkupi seluruhnya atau yang kita sebut sebagai kebudayaan Yunani tersebut. 

Apa itu kebudayaan? Tentu kebudayaan bukanlah semata-mata soal seni ataupun sastra melainkan juga soal pemikiran, perasaan dan kehendak dari bangsa itu sendiri, itulah kedudukan karya Homer yang berjudul Illiad & Oddyssea, dua karya tersebut dijadikan pedoman bagi masyarakat Yunani dalam berpikir, keinginan, maupun kehendak di dalam kehidupannya. Tapi akhirnya kata kebudayaan itu sendiri, terpecah, tumbuh masing-masing: pertama, dalam perasaan atau keinginan rakyat Yunani tumbuh rentetan tokoh dan karya sastra, dalam hal ini kita mengenal berbagai tokoh sastra Yunani, misalnya Hesiodos, Akiles, Arsiloskus, Sofokles dan lain sebagainya: kedua, dalam pemikiran rakyat Yunani tumbuh filsafat atau philosphos yang berasal dari dua kata Yunani, Philos yang berarti pecinta dan Sophos/Shopia yang berarti kebijaksanaan. Dalam bidang pemikiran ini diawali oleh para filsuf alam miletos yaitu Thales, Anaximander, dan Anaximenes, kemudian berlanjut kepada sebutan filsuf pra Socratic dan sesudah filsuf alam, nama-nama yang terkenal diantaranya, Phytagoras, Xenophones, Herakleitus, Parmenides, Zeno dari Elea, Melissos, Empedokles, Anxagoras, dan lain sebagainya. Setelah itu timbullah kaum sofis dengan pemikiran relativitasnya, tokoh yang terkenal adalah Protagoras, dimasa ini jugalah Socrates hadir, sekaligus pemikirannya menandai era baru atau dapat kita sebut filsafat setelah Socrates, pada masa ini selain Socrates, ada juga Plato yang merupakan murid Socrates sendiri dan Aristoteles adalah murid dari Plato sendiri, mereka bertigalah tiga raksasa filsafat Yunani, pada masa ini pengaruh sastra terhadap masyarakat Yunani semakin kecil, yang semakin menguat justru adalah politik yang dapat kita representasikan sebagai wujud kehendak rakyat Yunani. Ketiga, dalam politik, masyarakat Yunani telah bereksperimen untuk menentukan sistem apa yang terbaik, eksperimen ini mendahului kelahiran filsafat, hasilnya mereka telah melahirkan atau menjalankan sistem demokrasi, oligarki, monarki dan sistem lainnya. Pendek kata, tidak ditemukan satupun sistem yang sempurna, antara satu sistem politik dengan sistem politik lainnya terdapat kelebihan dan kekurangan, perbedaannya hanya terletak pada sistem manakah yang lebih mendekat kesempurnaan.

Peradaban Yunani yang megah itu sama seperti peradaban lainnya seperti Persia, peradaban Yunani juga tidak abadi, peradaban itu runtuh dan digantikan oleh peradaban Romawi. Bisa dikatakan hubungan antara peradaban Yunani dan Romawi seperti hubungan antara ibu dan anak, meskipun demikian antara keduanya tidaklah persis sama. Pada peradaban Romawi yang merupakan anak dari peradaban Yunani, kata antara beradab dan barbar menjadi kabur sebab landasan dari penyebutan barbar itu sendiri juga terjadi pada peradaban Romawi: pertama, Romawi tidak seperti Yunani yang terdiri dari polis-polis atau negara kota, suatu sistem yang berakhir saat berdirinya pemerintahan monarki di Yunani pada masa Alexander the Great atau sebagian pihak mengatakan dengan sebutan nama Iskandar Zulkarnaen, yang kematiannya menandai kejatuhan akhir dari peradaban Yunani. Peradaban Romawi adalah peradaban monarki atau sistem yang dipimpin oleh raja atau kaisar, sistem ini sama eksistensinya dengan sistem monarki di timur, raja atau kaisar hidup di bawah sistem despotisme, rakyat hidup di bawah raja yang keputusannya sendiri adalah hukum, bersifat mutlak. Raja atau kaisar tidak bertanggung jawab kepada keputusan yang lebih tinggi. Selain itu tidak ada lagi iklim kebebasan seperti yang terjadi dalam masyarakat Yunani di dalam polis, tidak banyak karya sastra, filsafat lahir menandai peradaban itu sendiiri, yang khas dalam peradaban Romawi hanyalah politik.

Kenyataan yang terjadi dalam peradaban romawi tentu membuat kita bertanya: apakah sebutan beradab tersebut masih bersifat kaku, sebutan yang otomatis atau khusus dimiliki oleh orang barat saja? Tentu tidak! Kenyataan itu justru menunjukan bahwa bangsa beradab ataupun barbar itu sama sekali tidak terkait dengan bangsa barat itu sendiri, melainkan terkait dengan aktifitas atau kebudayaan yang menunjukkan bahwa bangsa itu beradab, dalam kasus ini seperti yang ditunjukan oleh peradaban Yunani Kuno, beradab di dalam sastra, pemikiran, politik dan bidang lainnya yang tidak hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu melainkan dapat diakses seluruh rakyat. Dengan kata lain, menimbang apa yang terjadi di dalam peradaban Romawi dan dikaitkan dari makna beradab yang bersumber dari Yunani kuno, maka dapat kita sebut bahwa Romawi juga adalah barbar. 

Meskipun demikian agaknya masyarakat barat tetap merasa bahwa kata beradab itu adalah kata yang bersifat kaku dan khusus untuk mereka, dengan kata lain kata beradab itu sendiri adalah arti langsung dari bangsanya sendiri. Sebaliknya, masyarakat di luar barat tetap mereka anggap tidak beradab atau barbar. Kenyataan ini menunjukkan kepada kita bahwa kata beradab itu bersifat tradisi yang diwarisi secara turun temurun, bukan pola atau tingkah laku dari seorang individu atau suatu bangsa yang menunjukkan ciri-ciri keberadaban itu sendiri. Ini jelas melanggar logika atau hukum berpikir yang mereka ciptakan sendiri, hal ini sama seperti seseorang yang berkata bahwa mereka memiliki sesuatu, padahal sesuatu itu tidak terlihat oleh kita, pendek kata, hanya kata-kata, wujud dari keberadaban itu sendiri tidak terlihat dalam tingkah laku. 

Karena mengartikan beradab sebagai tradisi, warisan, hal inilah yang ditenggarai salah satu perangsang mereka untuk mengubah bangsa lain agar bisa beradab seperti mereka. Rangsangan ini tidak hanya diamini oleh negara tapi juga agama sehingga menjadi sebuah tugas suci untuk dilaksanakan. Mereka berlayar menuju bangsa-bangsa di dunia yang mereka anggap tidak beradab, yang mereka anggap barbar dengan slogan “Gold, Glory, Gospel”, mereka hendak membawa orang-orang barbar tersebut kepada kebahagiaan, keadilan, kebenaran. Mereka ingin memusnahkan kepercayaan orang-orang barbar tersebut yang kepercayaannya adalah animisme, dengan mengajarkan kepada mereka tentang Tuhan yang dianggap orang barat itu benar, tentu dalam hal ini Tuhan yang dipercaya agama Kristen, dengan mengajarkan hal ini mereka percaya bahwa bangsa yang mereka anggap tersebut akan menjadi beradab seperti mereka. Kemudian hendak menolong mereka dari ketertindasan yang diciptakan oleh sistem feodalisme lokal, serta niat-niat mulia lainnya, yang intinya ingin mengubah masyarakat barbar menjadi masyarakat beradab.

Pertanyaannya, apakah niat mulia itu hanya kata-kata atau benar-benar ada dalam tindakkan? Perbedaan utama yang barangkali membedakan antara masyarakat barat dengan bangsa barbar adalah soal agama. Masyarakat barat mungkin mengira bahwa bangsa-bangsa di luar dirinya adalah bangsa yang tidak punya agama atau orang-orang yang masih menganut animisme, ini memang benar bila kita berbicara tentang suku-suku di Amerika Latin tapi tidak pada bangsa-bangsa lainnya yang mereka jajah. Misalnya, dalam hal in indonesia, benarkah Indonesia belum mengenal agama di luar animisme? Kalau kita berbicara tentang Indonesia, jelas anggapan ini keliru sebab sebelum kedatangan mereka, bangsa kita, Indonesia telah memiliki agama, telah bersentuhan dengan pemikian di luar animisme, mulai dari Hindu, Budha, hingga Islam, dengan kata lain motif agama yang membuat barat datang ke timur hanyalah motif di permukaan, ini tidaklah begitu kuat sebab perbedaan antara Hindu, Budha, apalagi Islam dengan Kristen tidaklah dapat diukur dengan pasti, misalnya antara Islam dan Kristen, mereka sama-sama berakar dari Ibrahimisme, dan mengganggap diri sebagai agama monoteisme. Di lain sisi bahkan peradaban islam tidak kalah mengagumkan dengan peradaban barat, baik di bidang sastra, pemikiran maupun politik, bahkan di lapangan politik, peradaban islam telah berkuasa di Spanyol kurang lebih satu milinea, begitu juga islam berhasil merebut Konstantinopel atau yang disebut sebagai Romawi timur, kota terpenting kedua di peradaban barat setelah Romawi di Italia. Masa-masa keemasan islam ini dalam masyarakat barat lebih dikenal sebagai “dark age” atau masa kegelapan, dan bahkan masa kebangkitan Eropa sendiri ditandai dengan jembatanisasi oleh pemikir islam antara pemikir Yunani dengan pemikir barat pada masa kegelapan, khususnya yang dilakukan lewat tangan Ibnu Rusdhi atau di barat dikenal dengan sebutan Averoeisme. Bahkan akibat hal tersebut terjadilah pertentangan antara gereja dan para filsuf, pertentangan tersebut sampai pada taraf menegasikan, pengetahuan harus dimusnahkan atas nama iman sebaliknya iman harus dimusnahkan atas nama pengetahuan, walaupun negasi ini bukan bersifat absulute melainkan konsekuensi logis karena kerasnya pertentangan antara para pastur atau para pendeta dengan para filsuf. Pertentangan ini kemudian dimenangkan oleh pengetahuan sehingga gereja untuk tetap menjaga eksistensinya lebih bersifat akomodatif terhadap ilmu pengetahuan. Fakta ini membuat keunggulan agama Kristen dibanding Islam sama sekali tidak terlihat, baik dalam ajaran maupun peradaban umumnya.

Motif untuk menciptakan peradaban pada bangsa yang dianggap barat, barbar, akan semakin absurd bila kita lihat dalam kenyataan. Tidak ada keadilan dan hukum yang mereka ciptakan, seperti yang diagungkan barat. Misalnya di Amerika Latin, bila kita baca sejarah kedatangan bangsa barat ke Amerika Latin sungguh mengerikan, hal itu dapat dilihat dalam buku dengan judul “Mengapa Negara Gagal”, karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson. Di sana diceritakan bagaimana para pelaut Spanyol datang dan mengeruk harta orang-orang Indian, mereka menawan sang raja dan mengancamnya bila tidak memenuhi permintaan mereka akan emas, tapi pada akhirnya sang raja atau kepala suku dibunuh juga. Tidak sampai disitu, orang barat atau yang mengaku beradab tersebut menciptakan berbagai sistem kerja paksa untuk mengeksploitasi tanah dan rakyatnya. Diantaranya mereka membuat lembaga bernama Encomienda, mereka menjadikan rakyat pribumi Indian sebagai hadiah untuk orang-orang Spanyol sebagai alat untuk mendapatkan upeti, rakyat indian sebagai ganjaran dijadikan sebagai budak dan kristen. Ada lagi sistem yang disebut Mita, sistem inilah sistem kerja paksa dilakukan bangsa barat, melanjutkan sistem tradisional Inca tapi dengan wajah yang berbeda, wajah yang jauh lebih kejam. 

Tidak hanya di Amerika Latin, prilaku tersebut juga ditunjukka Belanda ketika menguasai Indonesia. Tidak ada hukum yang menunjukkan bahwa mereka bangsa barat yang mengaku beradab tersebut, tetap saja hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Tidak benar mereka akan membebaskan rakyat Indonesia dari penindasan pemimpin-pemimpin lokal, justru Belanda dan pemimpin lokal Indonesia, mereka berkolusi untuk mengeksploitasi rakyat Indonesia dan tanahnya dua kali lipat bahkan berlipat-lipat. Tidak ada upah yang layak, bahkan mereka tidak diupah sama sekali, jikapun diupah hanya untuk makan seadanya. Kedatangan barat ke Indonesia bukannya menyejahterakan justru makin membuat rakyat Nusantara makin melarat, mereka hidup miskin, kelaparan, menderita, bahkan nyawa mereka sendiri begitu mudah melayang. Mereka di paksa rodi atau kerja paksa membangun jalan, jembatan, gedung. Rakyat Indonesia disuruh kerja paksa di perkebunan kopi, teh, gula, rempah-rempah, dan dalam kegian ekonomi VOC dan Belanda. Banyak dari rakyat Indonesia mati di tempat akibat kelaparan kelelahan, ketidaksanggupan ataupun akibat siksaan. 

Kenyataan ini membuat motif barat datang ke Timur untuk menciptakan peradaban hanyalah omong kosong belaka, di Timur mereka justru lebih barbar dari masyarakat yang mereka anggap barbar. Mereka lebih tidak beradab, mereka memperbudak rakyat nusantara, memperkosa negerinya, memperkosa manusia dan memperkosa wanitanya. Ibarat pepatah motif barat datang ke timur itu bak panggang jauh dari api, hanya kata-kata tidak dalam kenyataan.

Hal inilah yang kemudian membuat terketuk hati seorang pegawai Belanda, sekaligus penyair. Barangkali ia terus mengutuki dirinya sendiri karena ia juga adalah anak seorang Belanda. Eduard Douwes Dekker, dialah anggota Dewan Pengawas Keuangan Pemerintah Belanda yang pertamakali diletakkan di wilayah Batavia (Hindia Belanda) 1840. Tahun 1842 ia meminta untuk dipindahkan ke Padang, Sumatera Barat. Di tahun yang sama pula, ia dipindahkan ke Natal, Sumatera Utara, untuk bertugas sebagai kontrolir. Baru setelah itu ia ditempatkan di Lebak, Banten. Tapi Eduard Douwes Dekker (Multatuli) tidak sama dengan ekonom lainnya, sebab ia juga adalah seorang penyair, hatinya tidak sanggup berdusta, melihat fenomena yang dialami oleh rakyat pribumi di Hindia Belanda (Nusantara), terutama di wilayah, tempat dimana ia bekerja.

Eduard Douwes Dekker tidak dapat mengingkari hatinya bahwa rakyat nusantara telah dibuat melarat oleh masyarakat barat yang mengaku beradab, ini jelas kemunafikkan. Karena tahu bahwa ia tidak punya senjata, dan tidak mempunyai kawan untuk mengubah keadaan, apalagi harus berhadapan dengan anak-anak sebangsanya. Oleh karena itu, ia hanya punya pena dan kertas yang tersisa, sudah seharusnya penyair melaksanakan tugasnya. Ia menulis sebuah maha karya yang berjudul “Max Havellar”, suatu karya yang mengungkapkan kemunafikan barat, Belanda khususnya. Berbeda dengan karya penyair umumnya, yang suka berdusta, Dekker justru sebaliknya, memberontak pada kecendrungan itu, ia justru ingin berbicara jujur apa adanya. Ia hanya berkata, membuat sastra yang benar-benar ada dalam kenyataan, bila ia berkata, “udara dingin dan lembab, jam berdentang empat kali”, maka pada saat itu, jam mestilah benar-benar pukul empat, tidak boleh, walaupun setengah empat. Itulah isi bukunya, sastra yang dilandasi kenyataan, ia tidak menggubah kata derita, dengan berlantun puisi, aku bahagia dalam derita, tidak, tersirat ia mengatakan apa adanya,  bahwa ia menderita melihat kelaparan, penyiksaan, penderitaan lain yang dihadapi rakyat nusantara, tidak peduli, ia tetap memberontak sekalipun pada sebangsanya sendirinya. Tuannya bukanlah ratu belanda dan bukanlah gubernur jendral Hindia Belanda, tuannya adalah kebenaran, keadilan.

Pekanbaru, 7 April 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tujuan

Kenangan Januari

Ia Masih di Sana