Masyarakat Barat Bukan Bangsa Barbar, Benarkah?

Ada dua alasan
kenapa bangsa Yunani Kuno mempertentangkan dirinya dengan bangsa lain dalam
sebutan beradab dan barbar (barbaros), dua alasan tersebut saling terkait satu
sama lain dan bersumber dari satu hal yaitu politik atau sistem pemerintahan. Pertama,
dalam rumusan negatif, bangsa Yunani tidaklah dipimpin oleh seorang raja
seperti halnya pada masyarakat timur, dimana despotisme menandai
kerajaan-kerajaan di timur kuno, raja dapat memerintah sekendak hatinya dan
hukumnya bersifat mutlak, tidak ada kekuasaan lain yang membuat raja harus
mempertanggung jawabkan setiap keputusannya, pendek kata, rakyat pada kerajaan
timur tidak lain hanyalah seorang budak saja. Kedua, Bila dirumuskan secara
positif letak perbedaan masyarakat Yunani dengan bangsa lain yang mereka sebut
barbar adalah bangsa Yunani hidup di dalam polis atau suatu negara kota (kecil),
dimana sistem ini berkembang antara abad ke-8 dan ke-7 Sm,. dan terus
berkembang hingga jumlahnya mencapai ratusan. Jumlah warga di dalam setiap
polis polis tersebut tidaklah besar antara 5000 warga hingga beberapa polis
mencapai angka 20.000 warga negara. Keunggulan negara kota ini adalah terletak
pada tiga hal yaitu: otonomi, swasembaa, dan kemerdekaan politik, tidak hanya
untuk hubungan polis dengan polis lainnya melainkan juga untuk hubungan antara
individu dengan individu lainnya. Tidak ada kekuasaan mutlak seperti raja di
timur di tanah Yunani, dalam polis Yunani seluruh warga terlibat aktif,
sekalipun ada yang hendak menjadi tyrannos (tiran) selalu ada hukum yang
membatasinya demi keterbukaan dalam bidang pemerintahan.
Oleh karena itu
bila kita berbicara peradaban Yunani kuno memang harus diakui, kita menemukan
keunggulan-keunggulan peradaban yang tidak dapat ditemukan pada peradaban lain,
atau jikapun ditemukan, keunggulan tersebut pada peradaban lain, tapi bukan
dimiliki oleh seluruh rakyat di dalam bangsanya, hanya sebagian kecil, yaitu
dapat disebut dengan istilah dalam Hinduisme, kasta brahmana dan kasta ksatria.
Inilah perbedaannya, dalam peradaban Yunani, seluruh keunggulan tersebut dapat
diakses oleh siapa saja, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya, tidak ada pembatasan yang membuat satu orang diistimewakan
dari orang lainnya seperti yang terjadi pada peradaban lainnya. Semua orang
bebas untuk tumbuh dan berkembang sesuai bakat-bakat yang mereka miliki. Hal
ini dapat kita lihat, misalnya dalam perkembangan sastra dan ilmu pengetahuan.
Sebelum Yunani
terkenal dengan pemikiran filsafatnya, masyarakat Yunani terlebih dahulu
dikenal dengan sastranya. Bila kita berbicara sastra Yunani maka ada satu nama
yang tak mungkin lupa disebutkan, bukan semata karena keunggulan karyanya
melainkan satu nama ini adalah sastrawan yang dianggap sebagai peletak
kebudayaan Yunani itu sendiri sehingga antara nama sang sastrawan dan
kebudayaan Yunani hubungannya bersifat saling terkait. ketika kita berbicara
sastra Yunani maka sang sastrawan akan disebut, ketika kita menyebut sang
sastrawan maka kebudayaan Yunani akan disebut. Satu nama itu adalah Homer
(Homerus) dialah yang menulis karya sastra tertua di Yunani sekaligus tertua
dalam sejarah literatur Eropa. Dua karyanya yang berjudul Illiad & Oddyssea
(850 s.M) adalah karya tertua itu, dua karya yang ditulis dalam bentuk puisi
epic yang berkisah tentang pertempuran Troy. Dua karya ini kedudukannya sama
seperti kedudukan karya sastra Ramayana ataupun Mahabarata di India. Selain itu,
arti penting Homerus ataupun sastra tidak saja pada Homer atau sastra itu
sendiri, tapi melingkupi seluruhnya atau yang kita sebut sebagai kebudayaan
Yunani tersebut.
Apa itu
kebudayaan? Tentu kebudayaan bukanlah semata-mata soal seni ataupun sastra
melainkan juga soal pemikiran, perasaan dan kehendak dari bangsa itu sendiri,
itulah kedudukan karya Homer yang berjudul Illiad & Oddyssea, dua karya
tersebut dijadikan pedoman bagi masyarakat Yunani dalam berpikir, keinginan,
maupun kehendak di dalam kehidupannya. Tapi akhirnya kata kebudayaan itu
sendiri, terpecah, tumbuh masing-masing: pertama, dalam perasaan atau keinginan
rakyat Yunani tumbuh rentetan tokoh dan karya sastra, dalam hal ini kita
mengenal berbagai tokoh sastra Yunani, misalnya Hesiodos, Akiles, Arsiloskus,
Sofokles dan lain sebagainya: kedua, dalam pemikiran rakyat Yunani tumbuh
filsafat atau philosphos yang berasal dari dua kata Yunani, Philos yang berarti
pecinta dan Sophos/Shopia yang berarti kebijaksanaan. Dalam bidang pemikiran
ini diawali oleh para filsuf alam miletos yaitu Thales, Anaximander, dan
Anaximenes, kemudian berlanjut kepada sebutan filsuf pra Socratic dan sesudah
filsuf alam, nama-nama yang terkenal diantaranya, Phytagoras, Xenophones,
Herakleitus, Parmenides, Zeno dari Elea, Melissos, Empedokles, Anxagoras, dan
lain sebagainya. Setelah itu timbullah kaum sofis dengan pemikiran
relativitasnya, tokoh yang terkenal adalah Protagoras, dimasa ini jugalah
Socrates hadir, sekaligus pemikirannya menandai era baru atau dapat kita sebut
filsafat setelah Socrates, pada masa ini selain Socrates, ada juga Plato yang
merupakan murid Socrates sendiri dan Aristoteles adalah murid dari Plato
sendiri, mereka bertigalah tiga raksasa filsafat Yunani, pada masa ini pengaruh
sastra terhadap masyarakat Yunani semakin kecil, yang semakin menguat justru
adalah politik yang dapat kita representasikan sebagai wujud kehendak rakyat
Yunani. Ketiga, dalam politik, masyarakat Yunani telah bereksperimen untuk
menentukan sistem apa yang terbaik, eksperimen ini mendahului kelahiran
filsafat, hasilnya mereka telah melahirkan atau menjalankan sistem demokrasi,
oligarki, monarki dan sistem lainnya. Pendek kata, tidak ditemukan satupun
sistem yang sempurna, antara satu sistem politik dengan sistem politik lainnya
terdapat kelebihan dan kekurangan, perbedaannya hanya terletak pada sistem
manakah yang lebih mendekat kesempurnaan.
Peradaban Yunani
yang megah itu sama seperti peradaban lainnya seperti Persia, peradaban Yunani
juga tidak abadi, peradaban itu runtuh dan digantikan oleh peradaban Romawi.
Bisa dikatakan hubungan antara peradaban Yunani dan Romawi seperti hubungan
antara ibu dan anak, meskipun demikian antara keduanya tidaklah persis sama.
Pada peradaban Romawi yang merupakan anak dari peradaban Yunani, kata antara
beradab dan barbar menjadi kabur sebab landasan dari penyebutan barbar itu
sendiri juga terjadi pada peradaban Romawi: pertama, Romawi tidak seperti
Yunani yang terdiri dari polis-polis atau negara kota, suatu sistem yang
berakhir saat berdirinya pemerintahan monarki di Yunani pada masa Alexander the
Great atau sebagian pihak mengatakan dengan sebutan nama Iskandar Zulkarnaen,
yang kematiannya menandai kejatuhan akhir dari peradaban Yunani. Peradaban
Romawi adalah peradaban monarki atau sistem yang dipimpin oleh raja atau
kaisar, sistem ini sama eksistensinya dengan sistem monarki di timur, raja atau
kaisar hidup di bawah sistem despotisme, rakyat hidup di bawah raja yang
keputusannya sendiri adalah hukum, bersifat mutlak. Raja atau kaisar tidak
bertanggung jawab kepada keputusan yang lebih tinggi. Selain itu tidak ada lagi
iklim kebebasan seperti yang terjadi dalam masyarakat Yunani di dalam polis,
tidak banyak karya sastra, filsafat lahir menandai peradaban itu sendiiri, yang
khas dalam peradaban Romawi hanyalah politik.
Kenyataan yang
terjadi dalam peradaban romawi tentu membuat kita bertanya: apakah sebutan
beradab tersebut masih bersifat kaku, sebutan yang otomatis atau khusus
dimiliki oleh orang barat saja? Tentu tidak! Kenyataan itu justru menunjukan
bahwa bangsa beradab ataupun barbar itu sama sekali tidak terkait dengan bangsa
barat itu sendiri, melainkan terkait dengan aktifitas atau kebudayaan yang
menunjukkan bahwa bangsa itu beradab, dalam kasus ini seperti yang ditunjukan
oleh peradaban Yunani Kuno, beradab di dalam sastra, pemikiran, politik dan
bidang lainnya yang tidak hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu melainkan
dapat diakses seluruh rakyat. Dengan kata lain, menimbang apa yang terjadi di
dalam peradaban Romawi dan dikaitkan dari makna beradab yang bersumber dari
Yunani kuno, maka dapat kita sebut bahwa Romawi juga adalah barbar.
Meskipun
demikian agaknya masyarakat barat tetap merasa bahwa kata beradab itu adalah
kata yang bersifat kaku dan khusus untuk mereka, dengan kata lain kata beradab
itu sendiri adalah arti langsung dari bangsanya sendiri. Sebaliknya, masyarakat
di luar barat tetap mereka anggap tidak beradab atau barbar. Kenyataan ini
menunjukkan kepada kita bahwa kata beradab itu bersifat tradisi yang diwarisi
secara turun temurun, bukan pola atau tingkah laku dari seorang individu atau
suatu bangsa yang menunjukkan ciri-ciri keberadaban itu sendiri. Ini jelas
melanggar logika atau hukum berpikir yang mereka ciptakan sendiri, hal ini sama
seperti seseorang yang berkata bahwa mereka memiliki sesuatu, padahal sesuatu
itu tidak terlihat oleh kita, pendek kata, hanya kata-kata, wujud dari keberadaban
itu sendiri tidak terlihat dalam tingkah laku.
Karena
mengartikan beradab sebagai tradisi, warisan, hal inilah yang ditenggarai salah
satu perangsang mereka untuk mengubah bangsa lain agar bisa beradab seperti
mereka. Rangsangan ini tidak hanya diamini oleh negara tapi juga agama sehingga
menjadi sebuah tugas suci untuk dilaksanakan. Mereka berlayar menuju
bangsa-bangsa di dunia yang mereka anggap tidak beradab, yang mereka anggap
barbar dengan slogan “Gold, Glory, Gospel”, mereka hendak membawa orang-orang
barbar tersebut kepada kebahagiaan, keadilan, kebenaran. Mereka ingin
memusnahkan kepercayaan orang-orang barbar tersebut yang kepercayaannya adalah
animisme, dengan mengajarkan kepada mereka tentang Tuhan yang dianggap orang
barat itu benar, tentu dalam hal ini Tuhan yang dipercaya agama Kristen, dengan
mengajarkan hal ini mereka percaya bahwa bangsa yang mereka anggap tersebut
akan menjadi beradab seperti mereka. Kemudian hendak menolong mereka dari
ketertindasan yang diciptakan oleh sistem feodalisme lokal, serta niat-niat
mulia lainnya, yang intinya ingin mengubah masyarakat barbar menjadi masyarakat
beradab.
Pertanyaannya,
apakah niat mulia itu hanya kata-kata atau benar-benar ada dalam tindakkan?
Perbedaan utama yang barangkali membedakan antara masyarakat barat dengan bangsa
barbar adalah soal agama. Masyarakat barat mungkin mengira bahwa bangsa-bangsa
di luar dirinya adalah bangsa yang tidak punya agama atau orang-orang yang
masih menganut animisme, ini memang benar bila kita berbicara tentang suku-suku
di Amerika Latin tapi tidak pada bangsa-bangsa lainnya yang mereka jajah. Misalnya,
dalam hal in indonesia, benarkah Indonesia belum mengenal agama di luar
animisme? Kalau kita berbicara tentang Indonesia, jelas anggapan ini keliru
sebab sebelum kedatangan mereka, bangsa kita, Indonesia telah memiliki agama,
telah bersentuhan dengan pemikian di luar animisme, mulai dari Hindu, Budha,
hingga Islam, dengan kata lain motif agama yang membuat barat datang ke timur
hanyalah motif di permukaan, ini tidaklah begitu kuat sebab perbedaan antara
Hindu, Budha, apalagi Islam dengan Kristen tidaklah dapat diukur dengan pasti,
misalnya antara Islam dan Kristen, mereka sama-sama berakar dari Ibrahimisme,
dan mengganggap diri sebagai agama monoteisme. Di lain sisi bahkan peradaban
islam tidak kalah mengagumkan dengan peradaban barat, baik di bidang sastra,
pemikiran maupun politik, bahkan di lapangan politik, peradaban islam telah
berkuasa di Spanyol kurang lebih satu milinea, begitu juga islam berhasil
merebut Konstantinopel atau yang disebut sebagai Romawi timur, kota terpenting
kedua di peradaban barat setelah Romawi di Italia. Masa-masa keemasan islam ini
dalam masyarakat barat lebih dikenal sebagai “dark age” atau masa kegelapan,
dan bahkan masa kebangkitan Eropa sendiri ditandai dengan jembatanisasi oleh
pemikir islam antara pemikir Yunani dengan pemikir barat pada masa kegelapan,
khususnya yang dilakukan lewat tangan Ibnu Rusdhi atau di barat dikenal dengan
sebutan Averoeisme. Bahkan akibat hal tersebut terjadilah pertentangan antara
gereja dan para filsuf, pertentangan tersebut sampai pada taraf menegasikan,
pengetahuan harus dimusnahkan atas nama iman sebaliknya iman harus dimusnahkan
atas nama pengetahuan, walaupun negasi ini bukan bersifat absulute melainkan
konsekuensi logis karena kerasnya pertentangan antara para pastur atau para
pendeta dengan para filsuf. Pertentangan ini kemudian dimenangkan oleh pengetahuan
sehingga gereja untuk tetap menjaga eksistensinya lebih bersifat akomodatif
terhadap ilmu pengetahuan. Fakta ini membuat keunggulan agama Kristen dibanding
Islam sama sekali tidak terlihat, baik dalam ajaran maupun peradaban umumnya.
Motif untuk menciptakan
peradaban pada bangsa yang dianggap barat, barbar, akan semakin absurd bila
kita lihat dalam kenyataan. Tidak ada keadilan dan hukum yang mereka ciptakan,
seperti yang diagungkan barat. Misalnya di Amerika Latin, bila kita baca
sejarah kedatangan bangsa barat ke Amerika Latin sungguh mengerikan, hal itu
dapat dilihat dalam buku dengan judul “Mengapa Negara Gagal”, karya Daron
Acemoglu dan James A. Robinson. Di sana diceritakan bagaimana para pelaut
Spanyol datang dan mengeruk harta orang-orang Indian, mereka menawan sang raja
dan mengancamnya bila tidak memenuhi permintaan mereka akan emas, tapi pada
akhirnya sang raja atau kepala suku dibunuh juga. Tidak sampai disitu, orang
barat atau yang mengaku beradab tersebut menciptakan berbagai sistem kerja paksa
untuk mengeksploitasi tanah dan rakyatnya. Diantaranya mereka membuat lembaga
bernama Encomienda, mereka menjadikan rakyat pribumi Indian sebagai hadiah
untuk orang-orang Spanyol sebagai alat untuk mendapatkan upeti, rakyat indian
sebagai ganjaran dijadikan sebagai budak dan kristen. Ada lagi sistem yang
disebut Mita, sistem inilah sistem kerja paksa dilakukan bangsa barat,
melanjutkan sistem tradisional Inca tapi dengan wajah yang berbeda, wajah yang
jauh lebih kejam.
Tidak hanya di
Amerika Latin, prilaku tersebut juga ditunjukka Belanda ketika menguasai
Indonesia. Tidak ada hukum yang menunjukkan bahwa mereka bangsa barat yang mengaku
beradab tersebut, tetap saja hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Tidak benar
mereka akan membebaskan rakyat Indonesia dari penindasan pemimpin-pemimpin
lokal, justru Belanda dan pemimpin lokal Indonesia, mereka berkolusi untuk
mengeksploitasi rakyat Indonesia dan tanahnya dua kali lipat bahkan berlipat-lipat.
Tidak ada upah yang layak, bahkan mereka tidak diupah sama sekali, jikapun
diupah hanya untuk makan seadanya. Kedatangan barat ke Indonesia bukannya
menyejahterakan justru makin membuat rakyat Nusantara makin melarat, mereka
hidup miskin, kelaparan, menderita, bahkan nyawa mereka sendiri begitu mudah
melayang. Mereka di paksa rodi atau kerja paksa membangun jalan, jembatan,
gedung. Rakyat Indonesia disuruh kerja paksa di perkebunan kopi, teh, gula,
rempah-rempah, dan dalam kegian ekonomi VOC dan Belanda. Banyak dari rakyat
Indonesia mati di tempat akibat kelaparan kelelahan, ketidaksanggupan ataupun
akibat siksaan.
Kenyataan ini
membuat motif barat datang ke Timur untuk menciptakan peradaban hanyalah omong
kosong belaka, di Timur mereka justru lebih barbar dari masyarakat yang mereka
anggap barbar. Mereka lebih tidak beradab, mereka memperbudak rakyat nusantara,
memperkosa negerinya, memperkosa manusia dan memperkosa wanitanya. Ibarat
pepatah motif barat datang ke timur itu bak panggang jauh dari api, hanya
kata-kata tidak dalam kenyataan.
Hal
inilah yang kemudian membuat terketuk hati seorang pegawai Belanda, sekaligus
penyair. Barangkali ia terus mengutuki dirinya sendiri karena ia juga adalah
anak seorang Belanda. Eduard Douwes Dekker, dialah anggota Dewan Pengawas
Keuangan Pemerintah Belanda yang pertamakali diletakkan di wilayah Batavia
(Hindia Belanda) 1840. Tahun 1842 ia meminta untuk dipindahkan ke Padang,
Sumatera Barat. Di tahun yang sama pula, ia dipindahkan ke Natal, Sumatera
Utara, untuk bertugas sebagai kontrolir. Baru setelah itu ia ditempatkan di
Lebak, Banten. Tapi Eduard Douwes Dekker (Multatuli) tidak sama dengan ekonom
lainnya, sebab ia juga adalah seorang penyair, hatinya tidak sanggup berdusta,
melihat fenomena yang dialami oleh rakyat pribumi di Hindia Belanda
(Nusantara), terutama di wilayah, tempat dimana ia bekerja.
Eduard Douwes
Dekker tidak dapat mengingkari hatinya bahwa rakyat nusantara telah dibuat
melarat oleh masyarakat barat yang mengaku beradab, ini jelas kemunafikkan.
Karena tahu bahwa ia tidak punya senjata, dan tidak mempunyai kawan untuk
mengubah keadaan, apalagi harus berhadapan dengan anak-anak sebangsanya. Oleh
karena itu, ia hanya punya pena dan kertas yang tersisa, sudah seharusnya
penyair melaksanakan tugasnya. Ia menulis sebuah maha karya yang berjudul “Max
Havellar”, suatu karya yang mengungkapkan kemunafikan barat, Belanda khususnya.
Berbeda dengan karya penyair umumnya, yang suka berdusta, Dekker justru
sebaliknya, memberontak pada kecendrungan itu, ia justru ingin berbicara jujur
apa adanya. Ia hanya berkata, membuat sastra yang benar-benar ada dalam
kenyataan, bila ia berkata, “udara dingin dan lembab, jam berdentang empat
kali”, maka pada saat itu, jam mestilah benar-benar pukul empat, tidak boleh,
walaupun setengah empat. Itulah isi bukunya, sastra yang dilandasi kenyataan,
ia tidak menggubah kata derita, dengan berlantun puisi, aku bahagia dalam
derita, tidak, tersirat ia mengatakan apa adanya, bahwa ia menderita melihat kelaparan,
penyiksaan, penderitaan lain yang dihadapi rakyat nusantara, tidak peduli, ia
tetap memberontak sekalipun pada sebangsanya sendirinya. Tuannya bukanlah ratu
belanda dan bukanlah gubernur jendral Hindia Belanda, tuannya adalah kebenaran,
keadilan.
Pekanbaru, 7
April 2017
Komentar
Posting Komentar