Musuh Dalam Selimut




Siapakah musuh kita? Bila pertanyaan ini dilemparkan kepada rakyat Indonesia saat terjajah maka tentu tanpa keraguan serentak mereka berkata: Portugis, Belanda, Inggris ataupun Jepang. Jawaban ini tidaklah salah sebab kenyataannya memang mereka adalah negara yang telah menjajah bangsa kita. Tidak seperti sebelumnya saat kedatangan bangsa asing tidaklah mengambil kekuasaan dari tangan bangsa kita. Mereka datang hanya untuk berdagang sekaligus menyebarkan paham keagamaannya, seperti Hindu, Budha maupun Islam, mereka tidak datang untuk berebut kekuasaan politik atas tanah dan rakyat bangsa kita, semua tetap dipegang oleh anak bangsa kita sendiri. Paling jauh mereka hanya melakukan hubungan perkawinan antara darah bangsa mereka dengan darah bangsa kita, itupun juga terkait dengan penyebaran paham keagamaan. Kedatangan mereka sama sekali berbeda dengan kedatangan bangsa-bangsa Eropa atau Jepang, dimana bukan hanya untuk menyebarkan suatu paham keagamaan, atau paham lainnya, lebih dari itu mereka datang untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan, bahkan dua hal ini lebih mendominasi, cendrung menjadi motif utama dari kedatangan mereka ke Nusantara. 

Perbedaan antara bangsa-bangsa yang datang sebelum kedatangan bangsa Eropa atau jepang ini juga adalah alasan kenapa bangsa India yang menyebarkan Hindu atau bangsa China yang menyebarkan Budha ataupun bangsa Persia, Arab, Gujarat yang menyebarkan Islam ke Indonesia tidak dapat dikatakan musuh seperti yang kita sematkan kepada bangsa Eropa ataupun negara jepang. Mereka hanya menyebarkan paham, datang secara damai tanpa timbul pergolakan, demi itu bisa dikatakan tidak ada darah yang tumpah yang dilakukan oleh bangsa lain yang hanya untuk menyebarkan paham, jikapun ada darah yang tumpah bukanlah disebabkan oleh tangan mereka melainkan oleh putra bangsa sendiri, pertarungan antara sesama putra bangsa. Ini berbeda dengan bangsa Eropa ataupun negara Jepang mereka datang awalnya juga damai kemudian melakukan pemaksaan yang menimbulkan pergolakan antara mereka dengan putra bangsa kita dengan tujuan untuk menguasai rakyat dan tanah kita, dimana mereka menjadi tuan di negeri kita dan putra bangsa menjadi babu di negeri sendiri melayani mereka. 

Penyematan musuh terhadap bangsa Eropa atau Jepang tentu bukan hanya tentang penguasan mereka atas tanah dan rakyat kita, lebih dari itu yaitu soal efek dari penguasaan mereka atas bangsa kita. Meskipun mereka datang sebagai bangsa yang mengaku beradab tapi di tanah jajahannya justru menunjukkan prilaku sebaliknya, tidak ada tanda-tanda keberadaban itu, bahkan mereka lebih barbar dari rakyat negeri yang mereka anggap barbar. Mereka tidaklah membuat rakyat dan negeri kita jadi lebih baik, lebih sejahtera, lebih bahagia, yang terjadi justru sebaliknya rakyat dan negeri kita di eksploitasi sampai tapal batas terakhirnya, mereka dipaksa bekerja atau yang kita kenal dengan istilah rodi (kerja paksa) untuk membangun jalan, rel, jembatan dan gedung-gedung serta untuk menjadi buruh diberbagai perkebunan dan unit usaha mereka lainnya tanpa memberikan upah yang layak kepada mereka, banyak yang meninggal di tempat akibat sistem rodi ini, mereka melarat, kelaparan, hidup mereka hanyalah derita tanpa harapan untuk berubah. 

Kita mafhum bila orang Eropa dan Jepang dianggap musuh oleh rakyat kita, tapi bagaimana bila kenyataannya musuh kita juga adalah putra negeri kita sendiri, mungkinkah? tentu saja mungkin, bila tidak, tidak mungkin timbul istilah “musuh dalam selimut”, wajar bila musuh ini sulit kita sadari sebab ia ada di dalam selimut kita, tidak seperti musuh di luar selimut kita yang tampak oleh mata kepala kita sendiri. Tapi itulah yang sungguh-sungguh terjadi bahwa musuh kita tidak selalu berasal dari bangsa asing tapi bisa dari bangsa kita sendiri. Kenyataan ini dapat kita telusuri, pertama dari asal-usul berkuasanya bangsa Eropa, misalnya karena perebutan kekuasaan, salah satu pihak yang ingin berkuasa meminta bantuan para penjajah itu dengan memberi mereka imbalan, hal inilah yang dimamfaatkan bangsa barat untuk menjalankan politik devide et impera atau politik adu domba, dengan politik ini selangkah demi selangkah mereka menguasai Indonesia, inilah karena nafsu berkuasa membuat sebagian putra bangsa kita berpikir pendek, tidak sadar bahwa keinginannya tersebut berdampak buruk bagi rakyat dan tanahnya. Kedua, dari asal-usul yang menyebabkan terpeliharanya kekuasaan Belanda yang hanya negara kecil dan lemah di Eropa atas tanah dan bangsa yang besar seperti kita. Tentu bukan karena semata-mata alasan senjata melainkan juga karena ada putra bangsa yang memancing di air yang keruh, ia memamfaatkan situasi rakyat dan tanah yang terjajah untuk mengeruk keuntungan untuk kepentingan pribadinya, keluarganya atau setidaknya agar mereka tidak menderita seperti rakyat dan tanah negeri umumnya. Inilah mereka musuh di dalam selimut kita, musuh yang lebih jahat, hal ini disinggung pertama kali oleh orang yang justru bukan bangsa kita melainkan oleh putra bangsa penjajah Belanda yang bernama Eduard Douwes Dekker (Multatuli).

Dekker menyinggung persoalan ini karena melihat dengan mata kepalanya sendiri tentang kebiadaban Belanda dan putra bangsa kita sendiri saat ia menjadi anggota Dewan Pengawas Keuangan Pemerintah Belanda. Pertama kali ia diletakkan di wilayah Batavia (Hindia Belanda) 1840. Tahun 1842 ia meminta untuk dipindahkan ke Padang, Sumatera Barat. Di tahun yang sama pula, ia dipindahkan ke Natal, Sumatera Utara, untuk bertugas sebagai kontrolir. Baru setelah itu ia ditempatkan di Lebak, Banten. Tapi Eduard Douwes Dekker (Multatuli) tidak sama dengan ekonom lainnya, sebab ia juga adalah seorang penyair, hatinya tidak sanggup berdusta, melihat fenomena yang dialami oleh rakyat pribumi di Hindia Belanda (Nusantara), terutama di wilayah, tempat dimana ia bekerja.

Dalam pengalamannya itu ia tidak dapat berdusta bahwa apa yang dilakukan bangsanya itu biadab, apalagi yang dilakukan oleh putra bangsa Nusantara yang memamfaatkan kondisi bangsanya untuk mengeruk keuntungan di tengah-tengah kemelaratan rakyat pada umumnya. Oleh karena itu Dekker membuat suatu karya yang disebut oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai suatu kitab yang menghabisi kolonialime, suatu karya yang berjudul “Max Havellar” (1859). Dalam karya ini Dekker membeberkan salah satunya tentang bagaimana putra bangsa kita berkolusi dengan para penjajah untuk membuat rakyat kita tambah melarat, menderita. Hal itu dapat kita lihat pada bab 5, disana diterangkan tentang bagaimana kolusi itu terpelihara, yang berurat berakar dari sistem pemerintahan.

Pertama-tama Dekker menjelaskan, Hindia Timur (Nusantara) dapat dibagi menjadi dua bagian utama berdasarkan hubungan ibu pertiwi dengan masyarakat tersebut. Bagian pertama, berisi suku bangsa, dimana para pangeran dan pangeran mudanya telah mengenal negeri Belanda sebagai pemegang kekuasaan, namun pemerintahan langsung kurang lebih masih berada di tangan pemimpin pribumi sendiri. Bagian kedua, berisikan – dengan sangat sedikit, mungkin hanya kelihatannya, kejadian khusus – seluruh Jawa, lansung menjadi warga negara Belanda. Di sini tidak diragukan lagi ada upeti, atau retribusi, juga persekutuan antara Belanda dengan kalangan kecil di Nusantara. Raja Belanda adalah raja orang Jawa. Keturunan dari pangeran dan bangsawannya terdahulu adalah menjadi penjabat berbangsa Belanda. Mereka ditetapkan, ditransfer, dipromosikan, dipercat oleh Gubernur Jenderal yang berkuasa di Nusantara atas nama raja Belanda. Penjahat diputuskan dan dihukum berdasarkan hukum yang dibuat The Hague. Pajak yang dibayar oleh masyarakat Jawa, mengalir masuk ke Bendahara Negara Belanda.

Adapun sistem pemerintahan di Hindia Timur terdiri dari Gubernur Jenderal, Residen dan Asisten Residen. Gubernur Jendral adalah pemimpin perwakilan raja Belanda di Nusantara. Residen adalah pemimpin dari tiga, empat atau lima divisi (setara kabupaten), yang jumlah penduduknya mendekati jutaan jiwa. Pada tiap-tiap divisi itu diletakkan seorang asisten residen, dekker sendiri pernah menjadi asisten residen di Lebak, Banten. Di bawah kekuasaan mereka, administrasi dilaksanakan oleh pengawas, inspektur dan penjabat lainnya yang penting untuk pengumpulan pajak, pengawasan pertanian, pekerjaan umum, polisi, serta adminitrasi keadilan. Di bawah asisten residen inilah ada yang disebut dengan Regen. Regen sendiri adalah orang pribumi, pemimpin kelas atas para pribumi.  Regen adalah Tumenggung, Adipati, atau bahkan pangeran.

Apa yang ingin dijelaskan Dekker disini? Bahwa selain oleh bangsa asing, kebiadaban itu terus terjadi, terpelihara justru karena kebiadaban putra bangsa sendiri, putra bangsa yang menikmati keuntungan dari sistem feodal secara turun temurun, yang jumlahnya sangat kecil dibandingkan total rakyat nusantara. Mereka bukannya melawan atau menentang pemerintah Belanda, justru ikut mengambil keuntungan dengan menjadi penjabat yang dibayar untuk mengeksploitasi negeri untuk melaratkan rakyatnya. Karena kehormatan dan penghormatan dari hampir seluruh orang sebagai bagian kepercayaan dan kepatuhan mereka, karena inilah putra bangsa yang pengecut itu bisa memamfaatkan keluguan  dan ketundukan total dari warganya terhadap mereka para raja, pangeran atau para bangsawan, untuk dapat menerapkan berbagai kebijakkan yang sesungguhnya membuat mereka menderita. Merekalah pemimpin pribumi yang di tengah-tengah rakyatnya yang melarat justru sanggup hidup dalam kesenangan dan bahkan dalam pesta pora kemubaziran, tanpa ada sedikitpun di hatinya merasa kegetiran, kesedihan atas apa yang dialami warga sebangsanya yang merupakan rakyatnya sendiri, rakyat yang telah memasrahkan dirinya kepada mereka atas kepercayaan-kepercayaan yang tidak berbalas indah.

Bila dari pihak Belanda yang tampak adalah kemunafikan yang mengaku bangsa beradab pada warga di negerinya ataupun pada rekannya sesama negara Eropa, padahal kenyataanya adalah bangsa biadab. Kemunafikan ini terjadi dan terpelihara ini karena meruyaknya kebohongan dan semakin minimnya sikap kritis dikalangan mereka. Sementara dari pihak pemimpin pribumi kita, para raja, pangeran, ataupun para bangsawan lainnya yang tampak adalah penghianatan, berkhianat pada dirinya sendiri, pada rakyat dan negerinya sendiri. Penghianatan ini terjadi karena meruyaknya sifat pengecut dan rakusnya para pemimpin kita serta karena hilangnya perasaan memiliki harga diri dan perasaan bertanggung jawab dengan memamfaat kebodohan rakyatnya. Inilah yang disebut musuh dalam selimut, musuh yang bergerak dalam ketidaksadaran kita, musuh yang lebih jahat daripada musuh di luar selimut, musuh Indonesia, musuh yang tak lain justru merupakan putranya sendiri, darah dagingnya sendiri.

Pekanbaru 8 April 2017




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tujuan

Kenangan Januari

Ia Masih di Sana