Musuh Dalam Selimut

Perbedaan antara
bangsa-bangsa yang datang sebelum kedatangan bangsa Eropa atau jepang ini juga
adalah alasan kenapa bangsa India yang menyebarkan Hindu atau bangsa China yang
menyebarkan Budha ataupun bangsa Persia, Arab, Gujarat yang menyebarkan Islam
ke Indonesia tidak dapat dikatakan musuh seperti yang kita sematkan kepada
bangsa Eropa ataupun negara jepang. Mereka hanya menyebarkan paham, datang
secara damai tanpa timbul pergolakan, demi itu bisa dikatakan tidak ada darah
yang tumpah yang dilakukan oleh bangsa lain yang hanya untuk menyebarkan paham,
jikapun ada darah yang tumpah bukanlah disebabkan oleh tangan mereka melainkan
oleh putra bangsa sendiri, pertarungan antara sesama putra bangsa. Ini berbeda
dengan bangsa Eropa ataupun negara Jepang mereka datang awalnya juga damai
kemudian melakukan pemaksaan yang menimbulkan pergolakan antara mereka dengan
putra bangsa kita dengan tujuan untuk menguasai rakyat dan tanah kita, dimana
mereka menjadi tuan di negeri kita dan putra bangsa menjadi babu di negeri
sendiri melayani mereka.
Penyematan musuh
terhadap bangsa Eropa atau Jepang tentu bukan hanya tentang penguasan mereka
atas tanah dan rakyat kita, lebih dari itu yaitu soal efek dari penguasaan
mereka atas bangsa kita. Meskipun mereka datang sebagai bangsa yang mengaku
beradab tapi di tanah jajahannya justru menunjukkan prilaku sebaliknya, tidak ada
tanda-tanda keberadaban itu, bahkan mereka lebih barbar dari rakyat negeri yang
mereka anggap barbar. Mereka tidaklah membuat rakyat dan negeri kita jadi lebih
baik, lebih sejahtera, lebih bahagia, yang terjadi justru sebaliknya rakyat dan
negeri kita di eksploitasi sampai tapal batas terakhirnya, mereka dipaksa
bekerja atau yang kita kenal dengan istilah rodi (kerja paksa) untuk membangun
jalan, rel, jembatan dan gedung-gedung serta untuk menjadi buruh diberbagai
perkebunan dan unit usaha mereka lainnya tanpa memberikan upah yang layak
kepada mereka, banyak yang meninggal di tempat akibat sistem rodi ini, mereka
melarat, kelaparan, hidup mereka hanyalah derita tanpa harapan untuk berubah.
Kita mafhum bila
orang Eropa dan Jepang dianggap musuh oleh rakyat kita, tapi bagaimana bila
kenyataannya musuh kita juga adalah putra negeri kita sendiri, mungkinkah?
tentu saja mungkin, bila tidak, tidak mungkin timbul istilah “musuh dalam
selimut”, wajar bila musuh ini sulit kita sadari sebab ia ada di dalam selimut kita,
tidak seperti musuh di luar selimut kita yang tampak oleh mata kepala kita
sendiri. Tapi itulah yang sungguh-sungguh terjadi bahwa musuh kita tidak selalu
berasal dari bangsa asing tapi bisa dari bangsa kita sendiri. Kenyataan ini
dapat kita telusuri, pertama dari asal-usul berkuasanya bangsa Eropa, misalnya
karena perebutan kekuasaan, salah satu pihak yang ingin berkuasa meminta
bantuan para penjajah itu dengan memberi mereka imbalan, hal inilah yang
dimamfaatkan bangsa barat untuk menjalankan politik devide et impera atau
politik adu domba, dengan politik ini selangkah demi selangkah mereka menguasai
Indonesia, inilah karena nafsu berkuasa membuat sebagian putra bangsa kita
berpikir pendek, tidak sadar bahwa keinginannya tersebut berdampak buruk bagi
rakyat dan tanahnya. Kedua, dari asal-usul yang menyebabkan terpeliharanya
kekuasaan Belanda yang hanya negara kecil dan lemah di Eropa atas tanah dan
bangsa yang besar seperti kita. Tentu bukan karena semata-mata alasan senjata
melainkan juga karena ada putra bangsa yang memancing di air yang keruh, ia
memamfaatkan situasi rakyat dan tanah yang terjajah untuk mengeruk keuntungan
untuk kepentingan pribadinya, keluarganya atau setidaknya agar mereka tidak
menderita seperti rakyat dan tanah negeri umumnya. Inilah mereka musuh di dalam
selimut kita, musuh yang lebih jahat, hal ini disinggung pertama kali oleh
orang yang justru bukan bangsa kita melainkan oleh putra bangsa penjajah
Belanda yang bernama Eduard Douwes Dekker (Multatuli).
Dekker
menyinggung persoalan ini karena melihat dengan mata kepalanya sendiri tentang
kebiadaban Belanda dan putra bangsa kita sendiri saat ia menjadi anggota Dewan
Pengawas Keuangan Pemerintah Belanda. Pertama kali ia diletakkan di wilayah
Batavia (Hindia Belanda) 1840. Tahun 1842 ia meminta untuk dipindahkan ke
Padang, Sumatera Barat. Di tahun yang sama pula, ia dipindahkan ke Natal,
Sumatera Utara, untuk bertugas sebagai kontrolir. Baru setelah itu ia
ditempatkan di Lebak, Banten. Tapi Eduard Douwes Dekker (Multatuli) tidak sama
dengan ekonom lainnya, sebab ia juga adalah seorang penyair, hatinya tidak
sanggup berdusta, melihat fenomena yang dialami oleh rakyat pribumi di Hindia
Belanda (Nusantara), terutama di wilayah, tempat dimana ia bekerja.
Dalam
pengalamannya itu ia tidak dapat berdusta bahwa apa yang dilakukan bangsanya
itu biadab, apalagi yang dilakukan oleh putra bangsa Nusantara yang
memamfaatkan kondisi bangsanya untuk mengeruk keuntungan di tengah-tengah
kemelaratan rakyat pada umumnya. Oleh karena itu Dekker membuat suatu karya
yang disebut oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai suatu kitab yang menghabisi
kolonialime, suatu karya yang berjudul “Max Havellar” (1859). Dalam karya ini
Dekker membeberkan salah satunya tentang bagaimana putra bangsa kita berkolusi
dengan para penjajah untuk membuat rakyat kita tambah melarat, menderita. Hal
itu dapat kita lihat pada bab 5, disana diterangkan tentang bagaimana kolusi
itu terpelihara, yang berurat berakar dari sistem pemerintahan.
Pertama-tama
Dekker menjelaskan, Hindia Timur (Nusantara) dapat dibagi menjadi dua bagian
utama berdasarkan hubungan ibu pertiwi dengan masyarakat tersebut. Bagian
pertama, berisi suku bangsa, dimana para pangeran dan pangeran mudanya telah
mengenal negeri Belanda sebagai pemegang kekuasaan, namun pemerintahan langsung
kurang lebih masih berada di tangan pemimpin pribumi sendiri. Bagian kedua,
berisikan – dengan sangat sedikit, mungkin hanya kelihatannya, kejadian khusus –
seluruh Jawa, lansung menjadi warga negara Belanda. Di sini tidak diragukan
lagi ada upeti, atau retribusi, juga persekutuan antara Belanda dengan kalangan
kecil di Nusantara. Raja Belanda adalah raja orang Jawa. Keturunan dari
pangeran dan bangsawannya terdahulu adalah menjadi penjabat berbangsa Belanda.
Mereka ditetapkan, ditransfer, dipromosikan, dipercat oleh Gubernur Jenderal
yang berkuasa di Nusantara atas nama raja Belanda. Penjahat diputuskan dan dihukum
berdasarkan hukum yang dibuat The Hague. Pajak yang dibayar oleh masyarakat
Jawa, mengalir masuk ke Bendahara Negara Belanda.
Adapun
sistem pemerintahan di Hindia Timur terdiri dari Gubernur Jenderal, Residen dan
Asisten Residen. Gubernur Jendral adalah pemimpin perwakilan raja Belanda di
Nusantara. Residen adalah pemimpin dari tiga, empat atau lima divisi (setara
kabupaten), yang jumlah penduduknya mendekati jutaan jiwa. Pada tiap-tiap
divisi itu diletakkan seorang asisten residen, dekker sendiri pernah menjadi
asisten residen di Lebak, Banten. Di bawah kekuasaan mereka, administrasi
dilaksanakan oleh pengawas, inspektur dan penjabat lainnya yang penting untuk
pengumpulan pajak, pengawasan pertanian, pekerjaan umum, polisi, serta
adminitrasi keadilan. Di bawah asisten residen inilah ada yang disebut dengan
Regen. Regen sendiri adalah orang pribumi, pemimpin kelas atas para pribumi. Regen adalah Tumenggung, Adipati, atau bahkan
pangeran.
Apa
yang ingin dijelaskan Dekker disini? Bahwa selain oleh bangsa asing, kebiadaban
itu terus terjadi, terpelihara justru karena kebiadaban putra bangsa sendiri,
putra bangsa yang menikmati keuntungan dari sistem feodal secara turun temurun,
yang jumlahnya sangat kecil dibandingkan total rakyat nusantara. Mereka
bukannya melawan atau menentang pemerintah Belanda, justru ikut mengambil
keuntungan dengan menjadi penjabat yang dibayar untuk mengeksploitasi negeri
untuk melaratkan rakyatnya. Karena kehormatan dan penghormatan dari hampir
seluruh orang sebagai bagian kepercayaan dan kepatuhan mereka, karena inilah putra
bangsa yang pengecut itu bisa memamfaatkan keluguan dan ketundukan total dari warganya terhadap mereka
para raja, pangeran atau para bangsawan, untuk dapat menerapkan berbagai
kebijakkan yang sesungguhnya membuat mereka menderita. Merekalah pemimpin pribumi
yang di tengah-tengah rakyatnya yang melarat justru sanggup hidup dalam
kesenangan dan bahkan dalam pesta pora kemubaziran, tanpa ada sedikitpun di
hatinya merasa kegetiran, kesedihan atas apa yang dialami warga sebangsanya
yang merupakan rakyatnya sendiri, rakyat yang telah memasrahkan dirinya kepada
mereka atas kepercayaan-kepercayaan yang tidak berbalas indah.
Bila
dari pihak Belanda yang tampak adalah kemunafikan yang mengaku bangsa beradab
pada warga di negerinya ataupun pada rekannya sesama negara Eropa, padahal
kenyataanya adalah bangsa biadab. Kemunafikan ini terjadi dan terpelihara ini karena
meruyaknya kebohongan dan semakin minimnya sikap kritis dikalangan mereka.
Sementara dari pihak pemimpin pribumi kita, para raja, pangeran, ataupun para
bangsawan lainnya yang tampak adalah penghianatan, berkhianat pada dirinya sendiri,
pada rakyat dan negerinya sendiri. Penghianatan ini terjadi karena meruyaknya
sifat pengecut dan rakusnya para pemimpin kita serta karena hilangnya perasaan
memiliki harga diri dan perasaan bertanggung jawab dengan memamfaat kebodohan
rakyatnya. Inilah yang disebut musuh dalam selimut, musuh yang bergerak dalam
ketidaksadaran kita, musuh yang lebih jahat daripada musuh di luar selimut, musuh
Indonesia, musuh yang tak lain justru merupakan putranya sendiri, darah
dagingnya sendiri.
Pekanbaru
8 April 2017
Komentar
Posting Komentar