Merenungkan Pengangguran Terdidik
Oleh: Robbi Sunarto S.E
![]() |
siperubahan..com |
Negara maju dikatakan maju tidak
semata karena sumber daya alamnya melainkan lebih karena mencetak para sarjana,
dimana setelah di didik di Universitas mereka kemudian mampu menggali,
mengembangkan ataupun memasarkan sumber daya alam baik dari negeri sendiri
maupun di negeri lain. Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan seluruh negara yang
termasuk dalam kelompok negara maju adalah bukti yang menguatkan tentang
hubungan yang linier antara kemajuan dengan kehadiran sarjana yang mereka
cetak. Tidak sekedar mampu memajukan di hulu, tapi para sarjana mereka juga
mampu memajukan di hilir. Sehingga para negara maju tersebut tak bisa dielakkan,
mereka menjadi pemain kunci dalam berbagai percaturan global.
Hal yang paling mencengangkan
adalah jepang. Pasca di bom atomnya Nagasaki dan Hirosima, praktis Jepang harus
memulai langkah mereka kembali dari awal. Tentu saja sang kaisar (Hirohito)
bersedih, tapi dia tidak bertanya tentang berapa banyak kerugian yang kita
derita, atau tidak bertanya tentang berapa sakit luka yang mendera, melainkan bertanya
tentang berapa banyak guru kita yang masih tersisa.
Ada 5 arahan atau perintah dari
sang kaisar kepada guru, yang dipercaya dapat membangkitkan Jepang dari keterpurukan:
Pertama, guru harus melaksanakan pendidikan yang bermutu; Kedua, guru harus
lebih disiplin dari murid; Ketiga, Ketiga, guru harus lebih pintar dari murid;
Keempat, Keempat, pendidikan itu harus bisa menuntun industri; Kelima, Saya
akan kirimkan sebagian anda ke luar negeri, pelajari dengan benar dan bawa pulang
ke jepang[1].
Itulah 5 arahan sang kaisar yang membuat negeri itu terbit dari terbenamnya,
sehingga kita sekarang mengenal sebagai salah satu negara industri maju khususnya lewat produk
otomotif dan elektroknik.
Tentu ada yang lebih
mencengangkan lagi, siapa lagi kalo bukan Republik Rakyat Tiongkok. Negara itu
kini menjadi super power dunia bersanding dengan Amerika Serikat. Bisa
dikatakan setelah runtuh Uni Sovyet, tumbuhlah China. Di abad modern ini uang
adalah sang penguasa, karena itulah sebelum menguasai yang lain maka kuasailah
ekonomi. Untuk tujuan itu china bahkan rela mencapurkan ide komunis sosialis
dengan ide kapitalis demokratis. Di china ide sosialis komunis memang tampak
nyata pada politik negara dengan partai tunggalnya. tapi dalam perekonomian
yang tampak di permukaan adalah ide kapitalis demokratis tapi dengan modifaksi
sesuai budaya mereka. Apa yang terjadi?
Yang terjadi adalah setelah China
membuka diri pasca mengisolasi diri dari dunia, secara continue mereka selalu
mengalami lompatan yang tinggi. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi perlahan
tapi pasti sang naga berhasil menyingkirkan satu persatu negara dan kini
menjadi pemain utama dunia bersama Amerika Serikat. Bahkan ketika Eropa mengalami
krisis ekonomi secara tidak langsung bisa dikatakan “Eropa mengemis pada
kebaikan China agar bersedia membeli surat utang mereka yang tergolong sampah”
dan China menolong mereka, tapi tentu saja tidak gratis. Eropa telah selamat,
dan Chinapun menikmati keuntungan ekonomi dan politik atas pertolongan itu.
China terkenal dengan produk
tiruannya, tapi meniru itu juga perlu ilmu. Mengapa China terkenal dengan
produk yang murah dengan kualitas rendah, alasanya adalah persaingan harga.
Dengan kemampuan meniru seperti itu tentu sebenarnya China menciptakan produk
dengan kualitas tinggi, tapi kembali apakah dengan kualitas tinggi dan mahal mereka
mampu bersaing di pasar dan mendapatkan keuntungan? China sepertinya sadar
setidaknya untuk saat ini dengan meniru dan menciptakan produk murah perlahan
tapi pasti mereka bisa memenangkan persaingan ekonomi dunia.
Rahasia kebangkitan China tersebut
sama seperti Jepang, terletak pada pendidikannya. Ajaran dari khususnya tokoh
pendidikan dan bahkan juga dianggap tokoh agama yaitu Kong fu tzi merupakan salah satu rahasia mereka. Ajaran
sang guru tersebut telah menjadi pandangan umum hidup orang China. Lewat
berbagai kitab karangannya terutama Analects yang merupakan sebentuk filosofi
praktis tentang kehidupan telah mengakar dalam seluruh sendi kehidupan bangsa
China. Meskipun tidak dipungkiri juga ada pengaruh ajaran Taoisme, Budha, dan
ajaran lainnya. Tapi bisa dikatakan ajaran Kong fu zi lebih mendominasi.
Pertanyaannya siapa kong fu zi? Ia adalah seorang sarjana dalam pendidikan
klasik tiongkok dan dialah guru para sarjana (551 SM).
Tidak sekedar mengajar, guru Kong juga berusaha menerapkan ilmunya di
pemerintahan. Negara Lu adalah pemerintahan yang menjadi penerapan ilmunya, ia
berhasil tapi karena pimpinan negara Lu berhasil dijebak oleh negara Qi dengan
mengirim hadiah dan wanita-wanita cantik, yang membuat sang pimpinan tenggelam
dalam pikatan nafsu sehingga sampai lupa akan tugasnya, melihat itu guru Kong
kecewa karena tidak mungkin ajarannya diterapkan dengan pemimpin seperti itu
sehingga sang guru memutuskan menggundurkan diri. Kong fu zi memang telah
wafat, tapi justru di abad modern ini ajarannya merupakan salah satu rahasia
utama mengapa kini China menjadi salah satu dari dua penguasa dunia.
Pelajaran
dari Jepang dan RRT, apa yang kita dapatkan? Kembali, kemajuan suatu negera
berhubungan linier dengan para sarjana yang mereka cetak. Ini semakin
menasbihkan alasan bagi negara manapun yang ingin maju maka cetaklah para
sarjana. Termasuk Indonesia, dengan kesadaran yang sama Indonesiapun menjadikan
Universitas sebagai fokus utama pengembangan manusia Indonesia. Sistem dan UU
di ciptakan, universitas dibangun, dosen di didik dan digaji, serta mahasiswa
diberi subsidi. Para sarjanapun dari tahun ke tahun semakin banyak tercetak,
namun silogisme dari linieritas antara kemajuan dengan mencetak sarjana tidak
terjadi. Antara ide dan realita tidak kunjung seiring sejalan, predikat “negara
maju” bak kata pepatah masih “jauh pangang dari api.” Sehingga sampai saat ini
sumber daya alam kita yang kaya itu masih betah di tangan manusia unggul negara lain, belum juga
berpindah untuk dikelola oleh manusia unggul negara sendiri. Pendek kata,
bukannya menjadikan negara lebih maju, para sarjana yang dicetak justru kini
menambah beban baru.
I
Sarjana yang notabene merupakan mantan
maha-siswa atau merupakan puncak pendidikan dari seluruh jenjang kesiswaan
adalah jebolan “masyarakat ilmiah.” kata “ilmiah” di situ selalu diasosiakan
dengan ilmu pengetahuan dan budaya modern. Dan kita tahu kata “modern”
diidentikan dengan kemajuan, hal ini imbas dari keberhasilan barat dalam
menguasai ekonomi dan politik dunia. Keberhasilan ilmu pengetahuan dengan kata
“ilmiah”nya dalam melahirkan abad modern sekarang kemudian telah menjadi
pijakan bagi berbagai negara untuk mengikuti jejak yang sama.
Bila kita menelisik sejarah
tentang ilmu pengetahuan khususnya dengan kata “ilmiah”nya, diantaranya kita
akan menemukan seorang tokoh bernama “Sir Francis Bacon”. Salah satu warisannya
yang dianggap penting bagi dunia sekarang adalah sebagai peletak dasar metode
eksperimental atau metode Induktif. Ilmu pengetahuan sebelumnya lebih banyak
bersifat deduktif– dari khusus ke umum. Dengan metode seperti itu ia menganggap
ilmu pengetahuan lama hanya banyak menghasilkan pembicaraan, pendek kata minim
pembuktian. Karena itulah Francis Bacon menawarkan metode baru yang ia percaya
akan memberi kemajuan dan mamfaat bagi manusia.
“Knowledge is Power”– Pengetahuan
adalah kuasa. Itulah pernyataan yang diyakini Francis Bacon. Tapi kata
“pengetahuan” di sini bagi Bacon bukan semua ilmu pengetahuan, tapi lebih
kepada pengetahuan yang bersifat fungsional. Baginya pengetahuan yang layak
diupayakan di masanya ataupun di masa mendatang adalah pengetahuan yang
bertujuan menguasai alam. Bacon percaya dengan pengetahuan seperti itulah
manusia akan menikmati kemakmuran. Bagaimana caranya?
Natura
non nisi parendo vicintor–
Alam dapat ditaklukkan dengan cara mematuhinya. Manusia takkan mampu menguasai
alam tanpa mengetahui hukum-hukumnya yang kemudian bisa menjadi prinsip umum
untuk dapat menguasainya. Tanpa mematuhinya, tentu manusia takkan mengetahui
hukum-hukumnya, sehingga manusiapun takkan mungkin untuk menguasai. Bisa
dikatakan kepatuhan manusia di sini lebih bersifat menipu dalam rangka untuk
dapat menaklukan Alam.
Sebelum menawarkan ajarannya
tentang metode induksi (eksperimental), terlebih dahulu Bacon mengajarkan
tentang idola-idola, kata idola
berasal dari bahasa latin yang berarti berhala. Ia meyakini bahwa manusia tidak
mengalami kemajuan karena dihalangi oleh idola. Berpikir kritis adalah syarat
kemajuan, tapi kehadiran idola membuat pikiran dan tindakkan secara langsung
ataupun tak lansung membatasinya. Bacon melihat ada empat berhala yang harus
dibersihkan: Pertama, idola Tribus–
berhala orang banyak; kedua, idola cave–
berhala gua; Ketiga, idola fora–
berhala pasar/forum; dan keempat, Idola
theatra– idola pangung.[2]
Sebelum melakukan penelitian
eksperimental (induksi), seorang peneliti harus bersih dari ke empat idola
tersebut. Sebab metode eksperimental adalah menarik kesimpulan umum dari hasil
serangkaian pengamatan yang bersifat khusus. Generalisasi dari seluruh
pengumpulan data bersifat khusus itulah tujuan metode induksi. Tapi bukan
sekedar pengumpulan data yang kemudian menghasilkan generalisasi yang gegabah.
Karena itu menurut Bacon ada syarat yang dipenuhi agar hasil induksi dapat
diterima, yaitu diperlukan hal-hal yang dapat menggugurkan hasil eksperimental
tersebut, jika tidak ada maka kesimpulanya dapat diterima dan diterapkan untuk
menciptakan sesuatu yang bersifat praktis dan berguna untuk kemakmuran manusia.
Setelah lama bangsa Eropa
tenggelam dalam Dark Age – era
kegelapan, Sir Francis Bacon dengan filsafat tentang idola dan metode
eksperimentalnya adalah salah satu tokoh yang telah mengilhami lahirnya zaman
Renaisans yang kemudian abad modern itu memuncak pada zaman pencerahan. Pada
zaman pencerahan Eropa hadir dengan hegemoni ilmu, ekonomi, politik dan
berbagai bidang lainnya. Tidak bisa dipungkiri pemikiran Francis Bacon adalah
salah satu ilham utama terciptanya abad modern. Metode eksperimentalnya
kemudian disebut sebagai penelitian ilmiah, atau penelitian yang disertai
dengan bukti yang konkrit, dan atau yang bisa dibuktikan.
Dengan budaya ilmiahnya Eropa
menjadi kiblat dunia, melalui budaya ilmiah mereka telah berhasil mencetak para
sarjana yang ahli di hulu dan juga yang ahli di hilir, ahli dalam teori dan
juga ahli dalam praktik sehingga muaranya telah menjadi pendorong bagi kemajuan
negara-negara di Eropa. Keberhasilan Eropa maju dengan budaya ilmiahnya kemudian
menjadi standar bagi negara-negara lain di dunia, termasuk indonesia untuk dapat
merengkuh asa menjadi negara maju. Sebagai gerbangnya berbagai universitas
didirikan yang dianggap sebagai tempat utama “masyarakat ilmiah” berkumpul.
Namun realitas mutakhir mengakibatkan kita harus bertanya ada apa dengan
“masyarakat ilmiah” kita?
Pengangguran terdidik itulah
penyebab mengapa kita perlu bertanya kembali tentang makna sebutan “masyarakat
ilmiah” yang disematkan pada universitas kita. Mahasiswa yang di didik,
difasilitasi, dan dibiaya dengan uang yang tak sedikit itu diharapkan ketika
telah sarjana bisa menjadi solusi bagi satu kata yang teramat di idamkan oleh
negara kita, yaitu “kemajuan” atau paling tidak para sarjana diharapkan mampu
mengurangi beban negara. Tapi melihat kepada fakta, sarjana sering tidak
menjadi kedua hal tersebut, melainkan justru menjadi beban baru dan tambahan bagi
negara.
Badan Pusat Statistik merilis
bahwa pada tahun 2016 bulan februari jumlah pengangguran terdidik akademi
sebanyak 249.362 dan perguruan tinggi 695.304, bila digabung maka jumlah
pengangguran terdidik berjumlah 944.666. Itu angka statistik, kemungkinan angka
riil di lapangan tentu akan lebih besar. Tapi dengan jumlah sebesar statistik
itu saja khususnya tamatan perguruan tinggi, bila kita simulasikan kepada
jumlah mahasiswa yang ada di Universitas Riau misalnya sebanyak 40.000
mahasiswa maka pada tahun 2016 tersebut kurang lebih ada sebanyak 17 univesitas
setara Universitas Riau yang berjumlah 40.000
dimana total total dari 17 universitas tersebut semua alumninya adalah
pengangguran. Sementara bila kita simulasikan angka pengangguran terdidik
univesitas pada penduduk suatu kota/kabupaten di Riau maka jumlah pengangguran
terdidik universitas kurang lebih setara dengan jumlah seluruh penduduk
kabupaten Indragiri hilir tahun 2014 sebesar 694.614 orang. Bayangkan saja
seandainya total alumni dari 17 kampus dengan jumlah masing-masing 40.000
orang, atau total penduduk kabupaten Indragiri Hilir dan semua itu
pengangguran, betapa mengerikannya pemandangan itu tentang alumni 17
Universitas atau tentang penduduk satu Kabupaten dan semua itu adalah
pengangguran.
Dari data BPS dengan judul
pengangguran berdasarkan “Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan” tersebut bukan
total jumlah pengangguran universitasnya saja yang mencengangkan melainkan juga
ada fakta menarik lain yang ditemukan, yaitu terjadinya keretakan sejarah
tentang daftar urutannya. Ketika pertama kali statistik dengan judul pengangguran berdasarkan
“Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan” di publikasikan pada tahun 1986, jumlah
pengangguran terdidik universitas berada di urutan terakhir dibandingkan dengan
tamatan pendidikan lainnya tepatnya nomor delapan. Namun setahun kemudian pada
tahun 1987 posisi jumlah pengangguran terdidik universitas melonjak ke urutan
enam, dan puncaknya pada tahun 2007 posisi jumlah pengangguran terdidik
universitas naik ke posisi lima, diposisi lima tersebutlah sampai sekarang
jumlah pengangguran terdidik universitas masih bertahan, mungkin saja ke depan
bila tidak terjadi perubahan dalam berbagai lini yang bersangkut paut dengan
input dan output para sarjana maka posisi jumlah pengangguran terdidik
universitas mungkin menembus posisi empat. Ini sungguh mengkhawatirkan
mengingat besarnya biaya yang telah dikeluarkan untuk mencetak para sarjana dan
ditambah dengan kenyataan bukannya mengurangi masalah negara justru malah
menambah beban baru.
Dengan fakta statistik itu, apa
yang kita harapkan dari kehadiran “masyarakat ilmiah” di negara kita ternyata
tidak berjalan sebagaimana mestinya, menggapai harapan seperti yang digapai
berbagai negara yang kini telah bermetamorfosa menjadi negara maju. Tentu ada
berbagai faktor yang menyebabkan realita tersebut terjadi seperti terjadinya perlambatan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara jumlah sarjana pencari kerja dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Tapi mengingat
Universitas adalah produsen penghasil sarjana, maka dalam tulisan ini terkait
pengangguran terdidik saya fokus pada faktor universitas kita yang notabene
merupakan masyarakat ilmiah di negara kita. Apakah ini kegagalan budaya ilmiah,
atau jangan-jangan kata “ilmiah” dalam masyarakat ilmiah untuk universitas kita
adalah slogan semata, sekedar “Lipe Service” pemanis bibir semata tidak
benar-benar ada dalam kenyataan. Kenyataannya apa yang seharusnya menjadi
tradisi dalam masyarakat ilmiah mungkin tidak pernah diterapkan atau tidak
pernah sungguh-sungguh diterapkan dalam universitas kita.
II
Sebagaimana yang telah kita
singgung sebelumnya, rahasia kebangkitan Eropa dari era kegelapan menuju era
pencerahan adalah terletak pada budaya ilmiahnya. Kata ilmiah ini dikaitkan
dengan metode eksperimental (induktif) yang di inisiasi oleh Francis Bacon.
Untuk melakukan penelitian yang disebut ilmiah tersebut terlebih dahulu para
peneliti harus bersih dari empat idola: Pertama idola Tribus– berhala orang banyak; kedua, idola cave– berhala gua; Ketiga, idola fora– berhala pasar/forum; dan keempat, Idola theatra– idola pangung. Tujuannya adalah agar peneliti
mereguk langit kebenaran, bukan kabut kesalahan.
Metode Induksi dan membersihkan
diri dari berhala telah menyiratkan maksud kata “ilmiah” pada sebutan
“masyarakat ilmiah” yang disandang Universitas. Berpikir kritis itulah ciri
utama yang ada pada masyarakat ilmiah, yang artinya tidak begitu saja dengan
mudah menerima kebenaran tanpa pembuktian atau diuji dengan menemukan hal yang
bisa menggugurkan kebenaran yang sudah ada dan diterima. Itulah ciri khas
pengetahuan. Ilmu pengetahuan maju dan berkembang bukan saja karena jalan
secara secara kontinue, melainkan juga terjadi diskontinuitas. Sehingga di
dalam ilmu pengetahuan terjadi yang dalam istilah Gaston Bachelard (1884-1962) rupture epistemologique (keretakan ilmu
pengetahuan), ia mencontohkan teori relativitas Einstein tidak mungkin turun
dari mekanika Newton, melainkan karena melawan dan membetulkannya. Sehingga
tidak heran bila kemudian banyak teori yang sebelumnya dianggap kebenaran
kemudian menjadi salah dan terjungkalkan ketika ditemukan teori yang baru.
Pendek kata “suatu teori baru merupakan pembetulan terhadap suatu teori lama”.
Tentang ilmu pengetahuan Bachelard berkata “kebenaran itu tidak lain dari
kesalahan yang dibetulkan.” Dengan kata lain bisa dikatakan kritik adalah akar
ilmu pengetahuan modern. K.Bertens dalam karya
“Sejarah Filsafat Kontemporer Perancis” ketika mengulas pemikiran Gaston
Bachelard menuliskan “kemajuan diperoleh dengan mengingkari pandangan-pandangan
dan teori-teori lama. Suatu hipotesis ilmiah baru dirumuskan,
karena–berdasarkan eksperimen–harus dikatakan “tidak” hipotesis yang diterima
selama ini.”[3]
Universitas atau perguruan tinggi
karena menyandang sebutan sebagai “Masyarakat Ilmiah” tentu kata “Masyarakat”
di sana menyiratkan bahwa universitas terdiri dari berbagai elemen. Pengelola
atau jajaran pimpinan universitas, dosen, dan mahasiswa adalah bagian dari
civitas akademika. Seluruh elemen tersebut memilik hak dan tanggung jawab yang
sama untuk menghidupkan tradisi ilmiah di Universitas. Sehingga hidup atau
matinya tradisi ilmiah di kampus adalah tanggung jawab seluruh civitas
akademika.
Di dalam sistem pendidikan
nasional kita sebagaimana yang termuat dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, tampak jelas menasbihkan tradisi ilmiah/akademis sebagai
tradisi pendidikan bangsa khususnya di perguruan tinggi. Budaya ilmiah seperti:
Penghargaan terhadap pendapat orang lain secara obyektif; pemikiran rasional
dan kritis-analitis dengan tanggung jawab moral; kebiasaan membaca; penambahan
ilmu dan wawasan; kebiasaan meneliti dan mengabdi kepada masyarakat; penulisan
artikel, makalah, buku; diskusi ilmiah; proses belajar-mengajar, dan; manajemen
perguruan tinggi yang baik. Jelas menjadi ukuran hidup atau tidaknya tradisi
ilmiah di universitas.
Kita telah melihat, untuk
mendukung terwujudnya tradisi ilmiah/akademis di perguruan tinggi, sistem telah
dibentuk, undang-undang telah disahkan, dan juga uang telah dikucurkan. Tapi
tradisi ilmiah itu ditenggarai tidak mampu hidup di Universitas kita. Tingginya
angka pengangguran terdidik adalah di antara sekian fakta yang membenarkan
kecurigaan kita bahwa sebutan “masyarakat ilmiah” yang disematkan pada
Universitas kita sebenarnya masih sekedar “slogan’. Menyikapi fenomena
pengangguran terdidik suatu streotype berkembang bahwa tidak terjadinya hubungan
“link and match” antara perguruan tinggi dan Industri adalah karena tidak “siap
pakai”nya sarjana kita. Para sarjana Indonesia hanya pandai di level teoritis,
tidak pada level teknis atau praktis.”
Mungkin kita perlu membaca karya
Yudi Latif, “Masa Lalu Yang Membunuh Masa
Depan”. Pada bagian ke empat dengan judul “Quo Vadis Sarjana Indonesia”,
Yudi latif tidak sepakat dengan streotype bahwa “sarjana indonesia hanya pandai
di level teoritis”. Menurutnya “kenyataan yang sesungguhnya justru lebih
memprihatinkan. Kebanyakkan mereka malah tidak mengenal kedua-duanya–miskin
teori dan tidak cakap dalam praktik.” Bagi Yudi Latif istilah sarjana tidak
siap pakai (tidak menguasai hal praktis) sesungguhnya masih bisa ditoleransi.
Hal ini mengingat pembawaan dan ciri khas ilmu itu sendiri. Bahasa Ilmu adalah
bahasa artifisial yang tidak menyerap langsung realitas sesungguhnya. Dalam
artian bahwa untuk menjangkau realitas objektif, ilmu perlu mengalami
transformasi ke arah diagnostik.
Untuk menguasai hal praktis dari
ilmu pengetahuaan “Para calon sarjana harus beranjak ke laboratorium, lapangan
dan lembaga-lembaga latihan kerja dan investigasi praktek medan,” tulis Yudi
Latif, “bila dana universitas menjadi macet, dan tali hubungan dengan
balai-balai latihan kerja menjadi mampet, maka mafhumlah semua orang mengapa
sarjana kita tidak siap pakai.” Akan tetapi, tulis Yudi Latif, “jika terbukti
merekapun tidak menguasai kepandaian teoritis ini namanya baru “keterlaluan”.
Hal mana menunjukkan betapa rikuhnya sikap ilmiah makhluk yang notabene jebolan
“masyarakat ilmiah” ini.”[4]
Selain soal fakta pengangguran
terdidik yang meruyak, kecurigaan terhadap sebutan masyarakat ilmiah terhadap
universitas kita hanyalah “slogan” diperkuat oleh adanya fakta tentang minimnya
jumlah publikasi dan kutipan ilmiah universitas kita di dunia Internasional.
Dalam Scientific Journal Rankings (CJR) 2017: Indonesia bertengger di posisi ke
57 di bawah; Thailand posisi 43; Malaysia posisi 35; dan Singapura posisi 32.
Sementara posisi sepuluh besar di duduki oleh negara-negara maju. Dan bahkan
sebagai keajaiban ekonomi dan politik dunia, China juga menunjukkan hegemoninya
di dalam soal karya ilmiah ini, mereka duduk di posisi kedua di bawah Amerika
Serikat. Kedudukan China tersebut semakin memperkokoh linieritas antara
pendidikan tinggi dengan kemajuan suatu negara. Persoalannya bukanlah terletak
pada perbandingan dengan negara Tiongkok ataupun negara-negara yang tergolong
kepada maju, sebab jika Indonesia kalah dibanding mereka dalam perkara jumlah
karya ilmiah itu dapat dimafhumi mengingat dari jumlah penduduk, jumlah
universitas, kemampuan ekonomi dan politik
Indonesia memang kalah dibanding mereka. Rankings Indonesia menjadi persoalan
ketika dibandingan dengan negara ASEAN lainnya yaitu Thailand, Malaysia, dan
Singapura. Meski kita menang dari jumlah penduduk dan jumlah universitas tapi
kita tetap kalah dalam menghasilkan jumlah karya ilmiah. Maknanya adalah tidak
perlu membandingkan antara kualitas dengan kualitas, membandingkan kuantitas
saja kita tetap tidak mampu mengalahkan kualitas mereka meski dengan kuantitas
universitas mereka yang jauh lebih sedikit.
China dengan menerapkan budaya
ilmiah di perguruan tinggi sebagaimana yang telah diterapkan oleh Eropa, kini
bertengger di posisi kedua di bawah Amerika Serikat. Sehingga adanya fakta
ekonomi dan politik mereka yang semakin menggurita di dunia dan mengokohkan
mereka sebagai dwitunggal adikuasa bersanding dengan Amerika Serikat, itu
menunjukkan tentang keberhasilan “masyarakat ilmiah” dalam mengubah suatu negara, dari zero to hero,.[5]Tapi
Indonesia berbeda, dengan kehadiran “masyarakat ilmiah” nya sampai saat ini
belum menjadi mesin pendorong bagi kemajuan bangsa, justru dengan angka
pengangguran terdidik saat ini universitas justru tampak mencetak sarjana yang
tidak menjadi solusi bagi negara melainkan beban. Bukan saja dianggap lemah
pada praktik melainkan juga pada level teoritis. Melihat peringkat Indonesia
dalam Scientific Journal Rankings (CJR) di posisi 57, yang itu artinya tidak
saja kalah jauh dari China melainkan juga kalah dengan sesama negara ASEAN
yaitu dibawah Thailand, Malaysia dan Singapura. Fakta tersebut semakin
meneguhkan bahwa tingginya pengangguran terdidik dan masih tidak merengkuhnya
Indonesia sebagai predikat “negara maju” bukanlah disebabkan oleh kegagalan
budaya ilmiah melainkan kegagalan masyarakat ilmiah atau universitas kita dalam
memasukan menerapkan budaya ilmiah di lingkungannya.
III
Budaya ilmiah diperguruan tinggi telah
terbukti berhasil membuat Jepang, Korea Selatan, China, dan negara lainnya
menjadi negara yang lebih maju daripada sebelumnya. Meskipun budaya ilmiah
adalah cangkokkan dari barat tapi budaya mereka (negara asia timur) terbukti
mampu menyesuaikan diri dengan budaya tersebut. Kritisme, kompetisi, kecepatan,
keterbukaan yang merupakan diantara ciri budaya ilmiah ternyata tidak
menggentarkan mereka, pendeknya mereka siap menghadapi semua itu. Tapi
sepertinya “tidak siap” bagi Indonesia. Kesiapan negara-negara Asia Timur dalam
menerapkan budaya ilmiah tentu bukan tanpa alasan.
Negara-negara Asia Timur berinduk
peradaban kepada “Peradaban Tiongkok”. Peradaban tersebut adalah satu diantara
peradaban kuno yang terbesar di dunia. Semenjak
lama peradaban ini telah jatuh dan bangun dalam peperangan untuk bertahan
ataupun ekspansi kekuasaan sehingga kita mengenal berbagai kitab perang di
ciptakan di sana dan salah satu yang terkenal adalah kitab perang “Sun Tzu”.
Selain itu berbagai aliran ilmu beladiri juga ikut meramaikan peradaban mereka
seperti Shaolin dan Wudang. Cerita dan film pendekar adalah tema yang begitu
mendominasi kehidupan mereka. Dan yang tak bisa kita lupakan tentu saja
keperkasaan seorang “Jenghis Khan”, seorang bocah lelaki di lembah monggolia
dengan pasukannya tiba-tiba berhasil mencengkram dunia berkat pengaruhnya.
Bukan saja kekuasaannya menggurita di Asia Timur, tapi juga Asia Selatan, Timur
Tengah, dan Juga Eropa. Hanya seorang lelaki di Timur Tengah yang mampu menandinginya
yaitu sang Nabi “Muhammad SAW. Penaklukan ini (pengaruh Jenghis Khan), walau
lebih luas jangkauannya ketimbang apa yang dilakukan bangsa Arab, tidaklah bisa
membuktikan kemapanan, dan kini satu-satunya daerah yang diduduki oleh bangsa
Mongol hanyalah wilayah yang sama dengan sebelum masa Jengis Khan. Ini jelas
menunjukkan beda besar dengan penaklukan yang dilakukan oleh bangsa Arab.
Membentang dari Irak hingga Maroko, terbentang rantai bangsa Arab yang bersatu,
bukan semata berkat anutan Agama Islam tapi juga dari jurusan bahasa Arabnya,
sejarah dan kebudayaan. Posisi sentral Al-Quran di kalangan kaum Muslimin dan
tertulisnya dalam bahasa Arab, besar kemungkinan merupakan sebab mengapa bahasa
Arab tidak terpecah-pecah ke dalam dialek-dialek yang berantarakan.[6]
Selain itu yang juga tidak boleh
dilupakan peradaban Tiongkok juga melahirkan tokoh-tokoh pendidik atau guru
yang besar, bisa dikatakan sebagai filsuf dari Asia Timur. Perbedaan dengan
Filsafat dari Yunani adalah Filsafat Asia Timur adalah filsafat dengan tujuan
praktis. Kita mengenal Lao zi dengan kitab Dao De Jing, Kong Fu zi dengan kitab
Analects, dan tokoh lainya seperti Meng Zi, dsb.
Melihat berbagai fakta historis
budaya bangsa Asia Timur tersebut membuat kita mengerti kenapa negara-negara
Asia Timur siap dalam penerapan budaya ilmiah. Sebab mereka sudah biasa
berkompetisi, menaklukan, berpikir kritis dan praktis. Hal itu jelas berbeda
dengan budaya kita. Terkait budaya kita sebagai masyarakat timur, banyak sekali
ilmuwan yang mencoba menguak cita-cita tertingi masyarakat timur[7].
Salah satu ilmuwan yang mencoba memberi pandangannya terkait masyarakat timur
adalah seorang ekonom Inggris, Alfred Marshall, masyarakat timur menurutnya “a placid serenity is the highest ideal of
life” – suatu ketentraman yang mengalir tenang adalah cita-cita hidup
tertinggi. Orang timur akan menerima dengan tenang kondisi hidup yang ada,
sedang orang barat yang materialistik dan selfish akan terus didera rasa tidak
nyaman lalu mencari cara untuk mengatasinya.[8]
Mahfum kita kemudian bila sistem feodalisme sangat betah bertahan di masyarakat
kita, dari masa ke masa, silih berganti bangsa kita dikuasai bangsa asing
sehingga wajar saja bila budaya feodalistik kini mampu menjalar dan mengakar ke
seluruh seluruh sendi kehidupan termasuk kepada universitas yang disebut
sebagai masyarakat ilmiah.
Bagi bangsa Yunani fakta tentang
masyarakat timur yang mengidolakan ketenangan sehingga mampu betah dengan
sistem feodalistik tersebut membuat mereka menyadari bahwa mereka berlainan
dari bangsa-bangsa lainnya. Sehingga mereka menyebut bangsa di luar Yunani
sebagai barbaros atau “barbar”.
Karena bangsa Yunani di dalam Polis
biasa dengan budaya merdeka, sementara bangsa di luar Yunani biasa di dalam
kerajaan biasa dengan budaya belenggu. Atau secara negatif dapat dikatakan
bahwa bangsa Yunani tidak hidup dalam suatu kerajaan dimana Sang Raja
memerintah dengan sembarangan dan mempunyai kekuasaan mutlak. Ia tidak hidup di
bawah despotisme yang menandai kerajaan-kerajaan di timur kuno. Dalam kerajaan
timur itu orang tidakdiperintah menurut hukum yang menjamin keadilan. Raja
timur tidak bertanggung jawab pada Allah-Allah setempat, karena kekuasaannya
sendiri bersifat illahi. Pendek kata, orang-orang barbar adalah bawahan saja,
bukan warga negara yang sejati. Bagi orang Yunani, itu berarti bahwa orang
barbar tidak lain daripada budak saja.[9]
Ketenangan yang menjadi cita-cita
hidup tertinggi masyarakat timur telah menyebabkan terpeliharanya sistem
feodalistik, dimana tentu telah menjamah seluruh sendi kehidupan masyarakat
Indonesia, tidak bisa disangsikan bahwa sistem tersebut juga telah menjalar dan
mengakar di masyarakat ilmiah kita. Kenyataan itu tentu bertentangan dengan
budaya bangsa Yunani, dimana cita-cita tertinggi masyarakatnya adalah
kemerdekaan. Sementara kita tahu budaya ilmiah adalah anak yang lahir dari
budaya bangsa Yunani.
IV
Budaya ilmiah seperti: penghargaan
terhadap pendapat orang lain secara obyektif; pemikiran rasional dan kritis-analitis
dengan tanggung jawab moral; kebiasaan membaca; penambahan ilmu dan wawasan;
kebiasaan meneliti dan mengabdi kepada masyarakat; penulisan artikel, makalah,
buku; diskusi ilmiah; proses belajar-mengajar, dan; manajemen perguruan tinggi
yang baik. Tentu meng-aminkan konflik yang dalam hal ini kritik sebagai suatu hal
yang harus dan bahkan wajib dilakukan. Sebab tanpa itu ilmu pengetahuan akan
mengalami stagnanitas atau kemandulan, mengingat sifat dari ilmu pengetahuan
tersebut yang ingin menanjak ke puncak kebenaran, yaitu suatu kebenaran, dimana
tidak ditemukan kebenaran lain yang mampu menggugurkannya. Sementara bila
dilihat dari fakta historis ilmu pengetahuan bisa dikatakan tidak pernah ada
kebenaran yang seperti itu, yang ada adalah dialektika kebenaran. Sehingga
kebenaran dalam bahasa Gaston Bachelard (1884-1962), bahwa dalam ilmu pengetahuan “kebenaran itu tidak lain
dari kesalahan yang dibetulkan”. Sehingga kita lihat teori yang sebelumnya terlihat
kokoh dan bahkan dianggap sebagai kebenaran mutlak kemudian runtuh ketika
ditemukan teori baru yang dapat menggugurkan kebenaran teori lama.
Kritik yang merupakan sikap dasar
ilmu pengetahuan modern sebenarnya merupakan sebentuk konflik, tapi tidak
konflik senjata ataupun fisik melainkan “konflik (pertentangan) pikiran. Konflik
seperti ini adalah konflik yang positif bagi kemajuan ilmu pengetahuan, sebab
budaya konflik pikiran tersebut akan menentukan apakah hidup ataukah matinya
budaya ilmiah.
“Konflik pikiran” adalah budaya khas bangsa
Yunani, yaitu suatu tempat lahirnya filsafat yang merupakan “induk ilmu
pengetahuan” Bila kita lihat tentang bagaimana filsafat Yunani lahir, tumbuh,
besar dan akhirnya melahirkan ilmu pengetahuan, maka kesan konflik pikiran
tersebut sangat terasa dan terlihat. Misalnya konflik pikiran para filsuf Alam
yang menandai kelahiran filsafat: Pertama, Thales mengungkapkan bahwa bahan
dasar alam semesta adalah “air”; kedua, Anaximender mengungkapkan bahwa bahan
dasar alam semesta itu bukanlah air melainkan suatu substansi yang tak terbatas
atau yang disebutnya sebagai “apeiron”[10];
ketiga, Anaximenes mengungkapkan bahan dasar alam semesta bukanlah air ataupun
apeiron melainkan adalah udara; keempat, Phytagoras mengungkapkan bahwa bukan
bumi yang menjadi pusat alam semesta melainkan “api”; dsb. Perbedaan pandangan
itu bukan sama sekali tidak di dasari oleh data dan fakta yang menguatkan,
semua pandangan mereka disertai dengan argumentasi yang menurut mereka dapat
membenarkan pandangan masing-masing. Konflik pikiran itu terus berlanjut tapi
tidak lagi tentang alam melainkan tentang manusia, agama, politik, ekonomi dan
berbagai bidangnya, dimana konflik pikiran tersebut masih berlanjut sampai
sekarang dan sampai yang belum bisa ditentukan.
Konflik senjata, fisik, hati,
pikiran atau konflik apapun namanya, bagi Herakleitus adalah suatu keniscayaan
yang artinya itu pasti dan harus terjadi karena telah menjadi hukum kehidupan.
Filsafatnya tentang segala sesuatu yang mengalir membuatnya percaya bahwa
“segala sesuatu takada yang diam atau tetap, semuanya mengalir atau berubah.
Dan karena segala sesuatu itu berubah, maka perubahan itu identik dengan
sesuatu yang baru, sehingga di dunia yang permanen atau abadi ditolak.[11]
Wajar bila kemudian ia berkata “All human being are product of conflict” –semua
manusia adalah hasil sebuah konflik. Dan konflik baginya “struggle is the
father of all things” –pertentangan adalah bapak segala sesuatu.
Sekarang kita telah memahami kata
“ilmiah” dalam sebutan “masyarakat ilmiah” bagi universitas kita menyiratkan
aktivitas berani berkonflik atau pertentangan, yang dalam hal ini “pertentangan
pikiran”. Budaya konflik tersebut jelas bertentangan dengan cita-cita tertinggi
masyarakat timur kita seperti yang diungkapkan Alfred Marshall, masyarakat
timur menurutnya “a placid serenity is
the highest ideal of life” – suatu ketentraman yang mengalir tenang adalah
cita-cita hidup tertinggi. Orang timur akan menerima dengan tenang kondisi
hidup yang ada. Pertentangan budaya ini tentu membuat kita harus memilih, bila
universitas kita tetap ingin menyandang predikat “masyarakat ilmiah” maka tidak
bisa tidak, universitas kita dengan seluru elemennya harus menghidupkan dan
berani berkonflik, yang dalam hal ini pertentangan pemikiran, baik antara dosen
dengan dosen maupun antara dosen dengan mahasiswa, dimana mampu berbesar hati
menyikapi perbedaan pemikiran, tanpa dendam di hati. Suasana kritik dan saran,
kompetisi, keterbukan harus dihidupkan yang semuanya bertujuan untuk
memassifkan tradisi ilmiah di universitas kita, dan muaranya akan lahir para
sarjana yang tidak saja ahli secara praktis tapi juga teoritis dan akhirnya
bisa mendorong Indonesia memasuki gerbang pintu kemajuan. Tapi jika Universitas
kita lebih menyukai ketenangan maka sebutan “masyarakat ilmiah” tersebut harus
ditanggalkan, dan diganti dengan sebutan “masyarakat feodal atau masyarakat
barbar. Sebab tidak cukup sekedar “slogan” untuk bisa menciptakan sarjana Indonesia, dimana antara
harapan dan realita selamannya takkan bisa seiring sejalan, dan selama juga
predikat negara maju sekedear impian.
Daftar Pustaka
Bertens, K. 2014. Sejarah Kontemporer Filsafat Perancis. Jakarta:
Gramedia
Bertens, K. 1992. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta:
Kanisius.
Hatta, Muhammad. 2015. Politik,Kebangsaan,
Ekonomi 1926-1977. Jakarta: Kompas.
Latif, Yudi. 1999. Masa Lalu Yang Membunuh Masa Depan: Krisis Agama, Pengetahuan, dan
Kekuasaan dalam Kebudayaan Teknokratis. Bandung: Mizan.
Hart, Michael H. 1982. Seratus Orang Paling Berpengaruh Di dunia.
Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya
Rahman, Masykur Arif. 2013. Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat.
Yogyakarta: IRCiSoD.
Sumber Web:
http://www.scimagojr.com/countryrank.php
Jamaluddin.
Prof. Dr.M.Ed. .http://aceh.tribunnews.com/2015/08/27/guru-belajar-dari-kebangkitan-jepang.
[1] Jamaluddin. Prof.
Dr.M.Ed. .http://aceh.tribunnews.com/2015/08/27/guru-belajar-dari-kebangkitan-jepang
[2] Masykur Arif Rahman, Buku Pintar
Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: IRCiSoD 2013), hlm. 237.
[3] K. Bertens, Sejarah Kontemporer
Filsafat Perancis (Jakarta: Gramedia, 2014) Jilid II, hlm 162.
[4] Yudi Latif, Masa Lalu Yang
Membunuh Masa Depan: Krisis Agama, Pengetahuan, dan Kekuasaan dalam Kebudayaan
Teknokratis (Bandung: Mizan, 1999), Cet. I, hlm. 199.
[5] Budaya ilmiah China memang maju
terkhusus dalam bidang teknik. Tentu dalam bidang politik dapat diduga budaya
ilmiah tidak berkembang di sana, mengingat China dalam politik masih setia
dengan ideologi sosialis komunistis yang ditunjukkan dengan asas partai
tunggalnya.
[6] Michael H. Hart, Seratus Orang
Paling Berpengaruh Di dunia (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1982), terj. H.
Mahbub Junaidi. Walaupun Hart bukan orang Islam, tapi ia berani meletakkan Nabi
Muhammad sebagai tokoh nomor satu paling berpengaruh di dunia, dan Jenghis di
posisi 21. Ia berkata “Tapi saya berpegang pada keyakinan saya, dialah Nabi
Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses
luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi. Selain
itu karena ia lahir di tengah kaum yang berperadaban belum tinggi.
[7] Masyarakat timur di sini tentu
lebih tepat disematkan pada Indonesia khususnya.
[8] Termuat dalam karangan Muhammad.
Hatta dengan judul “Struktur Ekonomi Dunia dan Konflik Kekuasaan”. Muhammad
Hatta, Politik,Kebangsaan, Ekonomi 1926-1977 (Jakarta: Kompas, 2015), hlm. 9.
[9] Selengkapnya terkait kata
“barbar” dapat dilihat dalam: K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta:
Kanisius, 1992), cet. IX, hlm. 19.
[10] Anaximander ketika menjelaskan
apa itu Apeiron yang dianggapnya sebagai bahan dasar alam semesta? Ia berkata
Apeiron itu adalah “tak terbatas, tak berhingga, tak berkesudahan, tak mengenal
usia, atau abadi. Bisa dikatakan Apeiron yang dimaksud Anaximander bersifat
illahi.
[11] Masykur Arif Rahman, Buku Pintar
Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: IRCiSoD 2013), hlm. 99.
Komentar
Posting Komentar